Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Petani Zaman Ini

/dulu/ Tujuh tahun lalu Aku masih melihat banyak gubuk bertebaran di sudut-sudut kapling sawah. Di samping itu, caping dan arit masih menjadi benda mewah. Setiap sore, kulihat para tani pulang dengan senyum lelah. Bersama sekarung rumput milik perliharaannya, serta sepeda onthel tua yang dituntun mesra. Anak-anak kecil asyik dengan senar dan layangan yang berkibar di angkasa. Ada yang menjadi hiasan. Ada pula yang jadi aduan. Apalagi ketika sebuah layangan terbang bebas setelah putus dari senarnya. Puluhan kaki berlari mengejar. Sampai tangan-tangan lusuh meraih dan mulut berkata; aku dapat. Mulut lain juga berlata; aku dulu yang dapat. Hingga akhirnya tiada yang dapat karena layangan tercabik: agar adil. Dulu aku masih melihat hijau terhampar bebas dan luas. Di tengab desa, pun kota. Peduli apa, asap rokok saja tak terasa. Kalah oleh oksigen dari padi yang melambai girang. Ketika matahari menyengatkan teriknya, para petani menghibur diri di gubuk dekat sawahnya. D

Matinya Petani

Selamat menemani rembulan Dengan kesendirian Dan dengan beberapa air mata di setiap sudut senja. Selain itu, Nikmatilah daun-daun yang gugur dengan resah Oleh keterpaksaan tuan tanah. Lihatlah api yang berkibar, mereka menyuarakan keluh. Tapi keluh itu digesekkan oleh mereka yang berseragam coklat. Pedih gas air mata tak terasa Karena kepedihan sesungguhnya lebih ada di dada, nyata. Saat mereka memungut hak dari kesejahteraan. Demi kepedulian diri. Tanpa peduli diri lain yang hanya bercaping matahari. Petaniku mati(?) Dimatikan waktu yang mulai membengkalaikan keaslian. Pembangunan adalah bom waktu. Sebab digarap oleh tenggat yang segera. Dengan paksaan yang tak bersebab, namun penuh musabab Ampun pak polisi. Petaniku bukan teroris. Apalagi orang tak peduli. Katamu, kalian melindungi kami? Nyatanya perlindunganmu hanya sebatas kata. Nyatanya perlindungan itu hanya sebuah semu belaka. Kemana warisanku? Telah ditelan beton dan puluhan gedung. Kemana alamku yang

Berbicaranya Alam

Diam-diam dinding berbicara. Tanpa nada, tanpa suara. Memprotes kemiskinan yang bersandar padanya. Angin bernyanyi keras Menghambur-hamburkan harta di setiap kota. Bumi menari Mengubur dan porak-porandakan kemewahan. Api bergoyang ria Melahap rampasan yang tak seharusnya. Air berlari. Menerkam lalu lintas kebiadaban. Awan berkumpul Langit tertawa Hujan berpesta Kemudian membantai kebisingan dunia. Janti, 5 April 2017

Judulnya Ketika Sibuk

Setelah terlelap oleh kesibukan. Dan lambung juga belum terjamah oleh butiran nasi. Tak kusiakan waktu yang menjadi dalang dalam irama kehidupan. Setelah itu, kawanan pemuda duduk mesra dengan sekumpulan celoteh. Kusambung dengan sedikit tawa agar ada hiasan diantara percakapan. Waktu menggantikan mereka. Satu persatu hilang ditelan jalanan dengan motor-motor yang dikendarai menuju persinggahan. Malam semakin larut. Kopi Sumatra terpampang diatas meja Memanjakan lidah dan suasana. Kemudian gerimis manja menyapa alam. Diselingi musik dan tawa gembira. Sesekali ada yang berbicara dengan seriusnya. Sebongkah laptop berpesan dengan aksara. Suruhan lisan memindahkan arah pandang pada layar. Lalu mata menelusuri jejak kata di sebuah perangkat lunak dari laptop, berirama. Aroma puisi khas dari seorang Dhimas terpasung bertutur tentang seorang ibu. Sekali lagi. Malam ini kuserahkan pada gulita, entah tentang pristiwa, entah tentang kata, entah tentang segala kisah yang

Sambutan, Perpisahan Serta Cakrawala Dan Seorang Zahra

I Saat itu mendung menggerogoti perjalanan Seolah ia mengajak berkenalan. Di suatu tempat, baru yang dirasakan oleh raga serta jiwa. Menguliti tubuh ini dengan dingin dari sebuah puncak. Belum lagi roda motor tua yang rewel dengan kebocorannya. Sungguh sore itu disambut juga dengan deras hujan. Derai-derai rumput bergembira menyambut guyuran. Air menggelayut di sekitar dedaunan. Sungai kembung dengan aliran yang melimpah. Hingga waktu petang dan gelap menutupi sebuah pandang. Motor bebek tua dengan sekuat tenaga menggotong tubuh ini ke bagian puncak dari sebuah bukit dengan tanjakan yang berkisar tujuh puluh sampai delapan puluh derajat kemiringan, tak lelah para pengojek mengantar pemuda menuju suka cita. Kedatanganku waktu itu disambut juga oleh tanah basah yang tergenang air. Becek, berlumpur. Terasa sepatu yang dikenakan dipaksa tergantikan sandal. Untunglah warung kecil duduk di hadapan. Mampirlah aku di sebuah kursi panjang. Kemudian sebatang rokok disulut semb

Kutub Kembar

Semua tak terkira Menjadi garing oleh dua nyawa berbeda. Hilang... Hilang lalu tenggelam Melenyapkan keramaian cafe dan sound yang berdendang. Nemo, Maret 2017