Petani Zaman Ini

/dulu/
Tujuh tahun lalu
Aku masih melihat banyak gubuk bertebaran di sudut-sudut kapling sawah.
Di samping itu, caping dan arit masih menjadi benda mewah.

Setiap sore, kulihat para tani pulang dengan senyum lelah.
Bersama sekarung rumput milik perliharaannya,
serta sepeda onthel tua yang dituntun mesra.

Anak-anak kecil asyik dengan senar dan layangan yang berkibar di angkasa.
Ada yang menjadi hiasan.
Ada pula yang jadi aduan.
Apalagi ketika sebuah layangan terbang bebas setelah putus dari senarnya.
Puluhan kaki berlari mengejar.
Sampai tangan-tangan lusuh meraih dan mulut berkata; aku dapat.
Mulut lain juga berlata; aku dulu yang dapat.
Hingga akhirnya tiada yang dapat karena layangan tercabik: agar adil.

Dulu aku masih melihat hijau terhampar bebas dan luas.
Di tengab desa, pun kota.
Peduli apa, asap rokok saja tak terasa.
Kalah oleh oksigen dari padi yang melambai girang.

Ketika matahari menyengatkan teriknya,
para petani menghibur diri di gubuk dekat sawahnya.
Dengan caping sebagai kipas.
Serta angin yang hilir mudik,
menggantikan panas menjadi sejuk.
Belum lagi nasi putih, tempe serta sambal terasi menawarkan diri.
Air putih seperti telaga yang berseluncur di kerongkongan mereka.

Saat panen tiba.
Bukan hanya petani yang bergembira.
Tetangga dan anak-anak ikut meramaikan pesta.
Hasilnya memang tak seberapa.
Namun, harga itu lebih mahal ketimbang harga panen yang sudah masuk pasar.

/sekarang/
Setelah tujuh tahun berjalan
Ada beda ditatap mata.
Hijau yang dulu terlihat megah
Kini terganti oleh gedung-gedung mewah.
Kebun-kebun yang penuh rindang pohon.
Berubah rimba reklame.
Jalan setapak dan parit jernih
dimangsa aspal dan selokan lebar.
Caping telah diganti topi-topi bermerek
Cangkul disingkirkan gadget
Gubuk jadi pos satpam.
Pohon-pohon rindang menjadi tiang.
Layang-layang tidak bebas terbang.
Anak kecil tak seriang dulu.
Bebas berlari tanpa dihalang motor besi.

Kemana petani yang tengah menanam?
Yang terlihat sekarang hanya lalu lalang pengamen jalanan.
Lalu, nanti kita makan apa?
Padi saja sudah mulai langka.
Tinggal Pizza Hut dan Mc Donald di mall dan plaza.

Pemuda bilang, sawah hanya hal kolot belaka.
Tak habis pikir.
Mereka besar dari panen raya para petani.
Tapi sekarang tak tau diri.
Semen lah
Hotel lah
Mall lah
Rumah mewah lah
Semua menjadi benalu di tengah peradaban.
Modernitas hanya menjadikan waeisan teriris perlahan.
Kemudian mati dan hilang.

Petani, maafkan zaman ini.

Yogyakarta, April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QUARTER CRISIS LIFE

KABAR DARI RUMAH DOA

Gerimis Senja Di Malioboro