Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

Wafiyah

Aku merindumu Dalam setiap doa yg mengerang Membasuh setiap nadir hayalku Wafiyahku tercantum dalam sukma Yang merajut dalam aliran hidupku Rindu yang meronta Ku rantai dalam jiwa yang dalam Agar laraku tak terumbar Wafiyah, Aku merindu Yogyakarta, 12 Juni 2016

Rindu dan Waktu

Selamat malam Kau yang masih duduk sendiri menatap rindu Di kejauhan matamu Terlihat ada bayang yang menyelimuti jiwamu Seperti langit biru yang diselimuti awan-awan padang Wajahmu masih sendu dari sebuah kenangan Seperti seorang anak kecil yang baru saja melihat bayang pelangi di langit yang telah hilang Termakan oleh waktu Aku masih duduk disini Melihatmu dari kejauhan Di setiap malam-malam yg merindu Bersama purnama yg rela menemani Di setiap ujung sajadah Juga gemintang yg setia sampaikan Cahaya doa Di setiap sepertiga malam. (Prenduan, 25 Maret 2016)

Salam Rindu

Mencintaimu itu bukan hanya sekedar Mencintaimu adalah perjuanganku Karena kamulah cintaku Yang kucintai tanpa alasan Yang datang tulus dari hati Tanpa paksaan Ia datang karena kamu Tanpa alasan Salam rindu kutitipkan untukmu Di sana yg jauh dari pandangku Aku mencintaimu Dengan sederhana

Sedotan

Kamu terlihat adil Ketika mata memandangmu lewat sedotan. Kost Demangan, 27 September 2016

Harum

Terlihat mata yg sendu Mengeliari pikiran yg bercabang Ada dia, ada seorang yg tengah hinggap Seperti celoteh ayam di subuh kala Yang tak mau pudar di setiap genggam fajar Di lubuk rindu Semayam tabur kesunyian Sepi dalam sendiri Tak berkata Bak hutan tanpa penghuni Tak berisi sececer makhluk Hanya dedaunan yg bergoyang Terhembus angin melintang Namamu selalu harum Bersama malam yang arungi masa Juga bayang tak tentu Sajak Al-Bakasy, 19 Agustus 2016

Masihkah?

Ketika lentera mengubah hening Setetes air menjelma doa Di atas sajadah yang terhampar Matahari masih berkelit Tertutup awan Seolah dilarang untuk bersinar Bumi pertiwi masih kelabu Dibalut mendung Dan gemerisik angin topan Indonesia Masihkah kau merdeka? Yogyakarta, 17 Agustus 2016

Sajak Lentera

Ini sabda sajakku Yang telah merangkai lautan kisah Dari rajutan keluh kesah             Dari meriam tinta ini             Aku lukiskan strata keadilan             Yang simpang siur tak berjera Oh Indonesia Raya Sajakku ingin melentera Berjibaku dengan kelam samudra             Diantara buih-buih raga yang tersesat             Antara sengsara dan derita kemakmuran Celurit tintaku selalu meresah Ketika si kecil berdendang Diantara kawanan mobil yang menanti lampu merah             Andai saja kemakmuran itu ada Juga keadilan itu nyata Si kecilmungkintaklagimeronta Di atas jalanan yang berdebu na n kelabu. Yogyakarta, 14 Agustus 2016

Negri Dongeng

Anak kecil menangis di tepi jalan Memungut recehan dengan raut memelas Di bawah terik dan lampu merah             Plat merah terlihat mewah             Enggan mengulurkan segelintir rupiah Negara makmur, katanya Tetapi berlaku bagi yang duduk di kursi saja Yang terkadang pulas ketika paripurna             Kudengar Negara ini adil             Adil kepada yang ada             Tidak bagi sang jelata Negriku memang negri dongeng 1001 cerita bagi rakyatnya Yogyakarta, 14 Agustus 2016

Proklamasi

Apa definisi dari proklamasi? Ketika penjajah memangsa darah Saat itu perjuangan membuncah             Ketika Bung Karno berpidato             Pada saat itu proklamasi terbakar Tapi, itu tinggal sejarah                                                                                                                                                                  Kini penjajah kembali             Bukan dengan senjata api             Atau pun meriam yang siap menendang Kemana para pemuda? Yang seharusnya melindungi proklamasi. Yogyakarta, 14 Agustus 2016

Andai Saja

Andai saja angin tampak Ijinkan aku berhembus dengannya Agar kesejukan terus mengalir Hiasi pori dan mahkota Andai tiada murka Biarkan damai mengalun Dalam sepoi masalah dunia Tanpa ada merah yang timbul Andai saja Oh... andai saja Biarlah jejaka tertawakan Ragaku yang konyol tak bertuan. Yogyakarta, 21 September 2016

Percakapan Fajar

Karya: Alim Ahadi dan Sahal Al-Bakasy /1/ Pagi yang menghaturkan salam persahabatan /2/ Pagi yang menerjemahkan arti cerah berkawan /1/ Kicau awan-awan menyapa embun naik, naik, dan naik Embun yang mengharapkan langit menerima /2/ Semilir angin bernyanyi Menarikan dedaunan yang gemulai Mengaharapkan kedamaian pada alam Yang selalu terik diterjang mentari /1/ hahaha. Sudahi risau musim gugur Karena pancaroba menyambut hadir bunga-bunga bakung di musim hujan /2/ Tapi masih saja bunga melamun di tangkainya Seakan enggan untuk memijak bumi Musim pancaroba tinggalkan ketidakpastian Seakan pepohonan ragu tuk semikan dedaunan /1/ Berarti sunyi masih meramaikan rumah mimpimu? /2/ Ya seperti itulah, Ia masih menggenang di halaman hatiku seperti air yang ramai meggericik di genangannya Dari genting yang enggan tersentuh basah /1/ Lantas apakah kau tak punya satu pun spektrum cahaya dalam imajimu dan merangkai langit memecah pucat pasi ladang sesawah /2/ Entahlah

Selamat Pagi

Apa sih yang diinginkan dari perasaan itu? Memiliki? Apakah aku harus memilikinya? Sulit sekali memang menjaga rasa yang sudah masuk dalam rongga-rongga jiwa. Melontarkannya pun terkadang tersekat diujung kerongkongan. Apalagi jika bertemu dengan dia, sulit rasanya memindah arah mata. Indahmu selalu kupandangi dari sudut cahaya yang masuk ke dalam bola mataku. Di dalam kelas pula kadang fokusku beralih padamu. Hingga terkadang aku lupa akan tugas dari bapak/ibu dosen yang mengisi jam kuliah saat itu. Ah, manisnya dirimu saat kupandang. Senyum yang merona selalu menghiasi paras ayumu. Tapi, ah sudahlah. Aku hanya penikmatmu dari sisi gelapku. Tak mungkin kuungkap dalam rangkaian puisi atau pun lainnya. Biarkan perasaan ini menggebu dan ku kerangkeng hingga akhirnya kau yang membukakannya. Selamat pagi asmaraku. Di langit Yogyakarta yang sendu. Ada kamu yang mulai menghiasi setiap sudut hatiku.

Rahasia Rasa

Adalah sebuah api Kupandang dalam sudut gelap Hingga hangat meresap jiwa Indah tanpa resah Rapuh yang tiada pula Yang terlelap pada rasa Urung terbuai dalam mimpi Lintasi kegundahan Ingatan di ruang rindu Antara harapan dan kepastian Narasi dalam rasa Akan menggiring dalam rahasia Sajak Al-Bakasy (Yogyakarta, 9 September 2016)

Jomblo Itu Prinsip

Akhir-akhir ini, banyak sekali pemuda dan pemudi yang berharap memiliki pasangan atau biasa disebut juga pacar. Entah mengapa, pacaran itu sendiri kini menjadi hal yang lumrah dalam sebuah kehidupan remaja saat ini. Akan tetapi, bagaimanakah sikap mereka ketika pacaran? Ada saja yang secara terang-terangan memperlihatkan kemesraan mereka, ada pula yang diam-diam tapi ternyata menghanyutkan. Di sisi lain, bagaimanakah para jomblo itu? Jomblo itu bukan nasib, akan tetapi jomblo itu pilihan. Lumrah saja jika seorang wanita mencintai lelaki atau sebaliknya. Tapi bagaimana cara menyikapi perasaan tersebut yang terkadang mengganggu pikiran dan membuat kita terkadang gagal fokus? Bahkan kebanyakan remaja saat ini mengungkapkan perasaan mereka kepada sang lawannya. Jika memang sudah diungkapkan, apakah kita yakin bahwa orang menerima ungkapan perasaan kita itu akan menjadi teman hidup kita? Jodoh itu tak ada yang menduga. Ada yang sudah dipersiapkan sebagai jodoh tapi tidak jodoh dan orang ya

Kebisingan hati

Kini saatnya melangkah kembali. Tapi, aku tengah timpang dalam ombang-ambing yang tak menentu. Antara aku, jiwaku dan duniaku. Mereka berurai kembali. Kebodohan apa lagi yang kulakukan? Acap kali aku tanpa pemikiran. Dangkal. Keabstrakanku dalam sikap di mata umum. Entahlah, aku tak ingin ada pencitraan dalam kehidupanku. Entah baik atau burukku, itulah aku. Biarkan mereka yang menerimaku apa adanya saja. Tapi sosialisasiku takan pernah mati untuk terus berkawan. Terkadang memang ada beban yang diterima setelah aku lepas dari sebuah lembaga. Apalah daya, aku hanya seorang yang tak mau berjalan lurus-lurusan saja. Tantangan, kehidupan asing yang entah apa isinya ingin aku lihat. Tanpa rasa. Tanpa harus aku membasahi dan menceburkan diriku dengan mereka. Cukup saja aku bergaul dalam batasan kehidupan. Meski begitu, aku tentu masih bertujuan. Aku tak malu akan statusku saat ini. Hanya saja, mereka yang awam akan kerasnya alur kehidupan dan pendirian seseorang takan pernah bisa paham sia

Intan 2

Sepertinya Intanku tengah pudar Seiring senja yang menutup hari Juga ia yang menutup diri         Baru saja sapa datang         Kini lambaiannya sudah tak terlihat         Tinggal bayang yang terkenang Maaf jika rasaku berlebih Anganku juga amat jauh Hingga lenganku tak meraih         Selamat tinggal         Entah itu kata yang tepat,         ataukah         Sampai jumpa         Jika saja temu kembali menyapa         Antara aku dengannya. Ngawi, 28 Juni 2016

Intan

Baru sekejap bertemu Cepat saja pertemuan berlalu      Tak sampai seharian aku berkenalan       Perpisahan menyambut begitu saja Sayangnya, aku langsung merasamu Tapi engkau seperti bunga putri malu Yang menguncup keteka tersentuh        Ketika kutanya perilah pemilik rasamu        Jawabmu, pemiliknya ada di sana         Di tempat kota kita bertemu, Yogyakarta Sayangnya, aku tak mau miliki rasa sekarang Aku tengah ingin bersunyi dengan rasa :bersama angin yang berkelana :bersama angan yang melambai di awan Bersama diriku sendiri Di tengah keramaian jiwa. Ngawi, 9 Juni 2016

Jurnalis Dan Dunia Saat Ini

Seperti halnya api yang membutuhkan udara Aku juga terkadang butuh sokongan agar terus menyala, berkibar merdeka, tapi tidak melahap sekitarku Semua orang tau, tiada makhluk di muka bumi ini yang tidak mampu, seperti halnya seorang rakyat kecil yang memimpin sebuah negara besar. Akan tetapi, apakah ia mampu menghadapi permasalahan mulai dari dirinya sendiri hingga masyarakat? Jaman sekarang itu jaman pencitraan, segala hal yang berkaitan kepada seseorang yang sebenarnya tidak terlalu baik atau biasa saja, selalu terliput oleh media. Akan tetapi, mereka yangbl tulus dan benar-benar baik, selalu terluput oleh media. Sebenarnya peran media itu penting sekali. Ya. Mengapa kukatakan seperti itu? Karena segala informasi terangkum menjadi satu dan menjadi informasi yang tersebar di segala pelosok negri. Akan tetapi, tidak semua informasi yang kita peroleh dari suatu media itu benar-benar realita. Kenapa begitu? Karena walau memang realita, berita yang diliput terkadang objektif dan lebay

Sampai Jumpa

Selamat datang Mati kita semai benih cahaya Hingga benderang telah selimuti Dan menyemi di kerajaan Namun, Sampai jumpa Kerajaan kita disini Telah benderang Mengakar ke penjuru bumi Jauhari Mari kita buat kerajaan baru Di bumi kita sendiri Selamat jalan. Yogyakarta, 29 Mei 2016

Ketika Mata Tertutup

Di saat matahari menyenja Kau ulumkan senyum terakhir Sebelum akhirnya tertutup menuju malam Kau anggukkan sinarmu yg memijar Kemudian hilang ditelan kabut dan awan Ketika itu, purnama mulai berbinar dari cahaya mentari yg terkatup Yang telah lama membagi cahaya Untuk bumi dan alam lainnya Dan ketika mata terkatup Tiada lagi surya Tiada lagi senja Tiada lagi purnama Hanya tersisa gulita yg merana (Madura, 18 Maret 2016)

Sudut Yogyakarta

Setiap senja, seringkali aku terlamun oleh berbagai permasalahan yang semakin dewasa semakin berbobot. Tapi di setiap sudut Jogja, aku lihat ada banyak tempat untuk menetralisirkan semua pikiran itu, sehingga sebuah permasalahan dapat terurai dengan jernih. Setiap sudut Jogja, aku memandang gemintang di langit yang selalu cerah, walau tak selamanya. Akan tetapi, catatanku ini hanya imaji yang seringkali terangkai dalam sudut kota pikiranku. Tetap saja Yogyakarta itu istimewa, sebagaimana rupa masyarakatnya dan juga keelokan alamnya, ranah yang masih asri akan budaya yang tergenggam erat. Sejarahku kini terurai di Yogyakarta. Dimana salah satu mimpiku tercampakan di ranah ini. Budaya yang aku kagumi, seni yang selalu merasuk dalam jiwaku. Walau terkadang aku awam atas semuanya, tapi apa salahnya kita terus belajar dan belajar hingga status awam itu tersisihkan. Salamku menyertai segala yang ada di sini, semoga kelak impian yang tercampak dan tergantung di langit Jogja dapat tergapai

Fajar Di Langit Yogyakarta

Sejak Juli, kakiku sudah mulai melangkah di daratan Yogyakarta, setelah 4 jam lamanya perjalanan rumahku menuju Yogyakarta yang penuh dengan tanda tanya. Yang pasti, kakiku melangkah untuk menatap kehidupan yang baru di kota yang tak pernah kutinggali. Selagi jasmani masih sanggup untuk bergerak, kan aku sambangi setiap sudut kota Yogyakarta. Kan kupelajari segala budaya, kubaurkan dan kutulis dalam lembaran-lembaran kisah hayatku. Yogyakarta, kota istimewa bergudang cerita. Hamparan masyarakat yang membuana. Yang mengalunkan syahdu kekerabatan. Selamat datang Yogyakarta, di dalam kehidupanku.