Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

Lagu Untuk Ibu Pertiwi

Dalam derap langkah waktu Yang di atas membela uang menjadikan Tuhan Budak-budak yang terikat rupiah Menjadi kejam, bahkan tak pandang kawan Para gepeng dibiarkan tak berakal Meski undang-undang melarang mereka merasuki ruas jalan Peraturan dibuat serta-merta menghapus jejak langkah. Dan melacurkan diri di gedung istana Demi pangkat dan jabatan yang tertera. Kemana para kesatria? Pembela hak para jelata. Ada yang dibungkam, ada pula yang diasingkan. Ah, kejamnya negri yang teraniaya oleh warganya sendiri. Kapankah kembali merdeka, wahai Ibu Pertiwi? Yogyakarta, 31 Oktober 2016

Rindu Dalam Sunyi

Ini sebuah keluh. Yang membahas tentang kesunyian jiwa. Merambat bersama aliran darah, menjadi sebuah rasa rindu. Ya, rindu akan purnama yang tengah membayang. Masa itu, saat sepasang mata berkeliar memandang pesona keramaian. Rindu pada celoteh yang memuja kehidupan. Pecahkan hening di setiap kerangka kota. Alunan musik hanya berdendang, sementara hadirnya celetuk saat irama bosan bernyanyi. Sama ketika di dalam sunyi, alunan simponi dari laptop menggusur sepi. Tapi tetap saja sunyi. Ah, sepertinya pikiran tengah pincang. Terpasung oleh suasana malam. Tanpa kopi, tanpa sebatang tembakau yang merasuk. Entah apa yang ingin dimuntahkan. Apakah itu mata air? Ataukah kesendirian yang menghampa di dalam ruang. Tetap saja rindu memisuh. Memberontak. Tanpa tau apa yang tengah dirindukan. Mungkin saja celetuk malam, atau sekelumit keramaian yang sering kali bermuara di sudut cafe. Di kesunyian ini, rindu membuncah. Menggerogoti alam yang tengah padam. Demangan, 26 Okt

Permata Dan Kisahnya

Semalam Permata berkisah tentang setapak jalannya yang terkurung oleh jemu Seakan ia terperangkap dalam sandiwara tak berujung. Kejenuhan melingkari menjadikan kebahagiaan ditelanjangi dan dilucuti Derap waktu terus mengejar. Kisah dan kesah terlontar dalam kata-kata yang berkeluh. Malam itu, perkelahian batin merambah percakapan. Permata terus mencari kebenaran dari kebimbangan yang tengah berpesta di dalam jiwa yang tak terbuka. Yogyakarta, 23 Oktober 2016

Cerita Dari Sebuah Gedung

Di sebuah gedung Dalam ruangan yang cukup sesak Ada gula yang terpaku dengan layar monitor Memainkan jemarinya pada mouse yang mungil Dan dendangan lagu Sheila On 7 yang menggema. Walau dalam keramaian yang nyata Ia mensunyikan diri. Dengan sebuah laptop yang menghadapinya. Sesekali pula tangannya merayu dan menari di atas keyboard. Mata bolanya terus dihiasi sinar monitor. Lesung pipinya sesekali terlintas Dari bibirnya yang menarik senyum. Entah lelah. Ia tegakkan tubuhnya. :semoga dirimu terselimuti sehat. Di ruang yang berirama, aku bercerita dalam sudut. Dengan celotehan masyarakatnya dan juga beberapa yang asyik dengan gadgetnya. Senja mulai datang menyelimuti langit. Hima IS UNY, 21 Oktober 2016

Indah

membaur dengan waktu dan alam menyatu dengan khayalan tapi jangan membabu pada uang indah maka lagu yang tersimpan akan terbingkai indah takan jadi hal yang terbengkalai indah, indah rasukilah setiap jiwa-jiwa yang rapuh oleh cinta. Demangan, 21 Oktober 2016

Lagu Pada Bulan Oktober

Oktober Aku masih jatuh dalam lubang kerapuhan Teraniaya oleh waktu yang mengikat Dengan temali detik yang menggagahi setiap jejak Terkapar dalam kesunyian Bersama deraian yang mengarat Tersusun di dalam setiap kisah pilu Entah karena kesendirianku Atau karena setiap rasaku tersungkur oleh lainnya Kata perlahan mulai bisu Tak terungkap dan menjamur di dalam setiap sudut, rindu yang melilit dan menari di lubang-lubang asmara Jiwa yang menimbun rasa, mengerang inginkan lagu-lagu mu tentang perasaan yang tertuang di sebuah kalimat. Membuah menjadi sajak-sajak liar. Tak sengaja kulayarkan rindu ini kepadamu Yang sampai saat ini belum melabuh. Payung tak mampu meneduhkan hujan rindu dari awan mendung kasih. Biarlah oase ini merimbai pikiran menjadi sebuah kenangan yang layu. Kemudian terganti dengan lamunan yang terkisah. Tertulis dan terangkai di setiap puisiku. Oktober, cepatlah berlalu ceritamu sudah menggenang di halaman hati. Yogyakarta, 21 Oktober 2016

Si Tudung Merah Dan Sebuah Aku

Di depan mata ada rembulan yang berpijar dari senyum yang tersimpul. Suara camar mengagumi seisi gedung, tentang tugas dan segala macam kehidupannya. Menyudut dengan sebuah buku kusam. Tampak syahdu engkau membacanya. Dengan tudung merah yang membingkai wajah, dan raut bahagia yang nampak tilas. Genggam terus Aku, dengan tangan manis. Bacalah Aku, dengan bola mata indah itu. Karena setiap rupa yang tertanam dalam sebuah kisah tertuliskan dalam sebuah Aku. Yang menjudul. Dan terabadi. Nikmatilah, dan terus ziarahi setiap lekuk kalimat itu. Dalam sebuah karya. Aku. Yogyakarta, 20 Oktober 2016

Malam Ini

malam ini tampak tenang Seperti awan yg berjalan ringan Terukir dalan kesunyian Namamu, Ya, namamu yg ada Diantara bintang yg mengangkasa Di balik sebuah cahaya rembulan Malam ini, Namamu masih tergambar Di antara desir darah yg mengalir Yg merujuk menuju jantung Kau ada, di setiap denyutannya Malam ini, Namamu terngiang Dirimu terindukan Oleh jiwaku yg tengah menabur rasa Lewat kata-kata Malam ini pula Dirimu terucap Diantara alif-alif syahdu Yg menginginkanmu Aku merindukanmu Malam ini Madura, 17 oktober 2015

Intan 3

:Kehadirannya Pada Alam Isi dalam ruang yang tengah hampa Namun, ramainya derapan rasa tak bisa mengaksara Tanpa sepatah kata pula terlontar Ada apa? Bagaimana mulut ini mencucur Nisan saja tak berkutik dihadapan para pelayat Apakah rasaku tengah jemu? Ragu, mengutarakan kisah hati Antara raganya yang indah Terbalut gaun penuh pesona. Nampak pula, senyum yang mengusung kedua bibirnya. Ah, terlalu manis untuk dimiliki. Daun saja enggan jatuh, ketika ia melangkah mendekat. Irama-irama angin menarikan selembar hijabnya. Lautan menyambut dengan deburan ombak. Langit tampak diam dengan sekelumit awan. Adanya membuat alam sunyi, diam mengindahi kehadirannya. Yogyakarta, 17 Oktober 2016

Hujan Lagi

Hujan kembali datang Seolah ia melarang bulan untuk memandang bumi Pekat malam disetubuhi oleh rintikan syahdu yang tak diundang Seperti para petinggi yang seenaknya mengunyah kata kekuasaan Mentang-mentang punya jabatan Mereka lupa diatas langit masih tersimpan langit Ya mereka seperti hujan malam ini Yang melarang rembulan menduduki wajahnya tuk tampakkan diri Demangan, 28 September 2016

Bising

Terlihat suatu malam pekat Lentera yang menerangi menjadi kilatan Kesana kemari Oh bisingnya dunia ini Berita yang merasuk dalam otak Sulit untuk terangkai Hingga akhirnya tikungan yang didapat Sungguh bising Teramat hingga sunyi tak berkesempatan Demangan, 29 September 2016

Lagu Pada Air

Terlalu banyak puisi tentang hujan, sedangkan tetesannya tak kunjung reda. Mengairi wajah-wajah kusam di balik penatnya desiran raga Kilau aspal dan cahaya tergusur oleh dentuman mata air langit dan, mata air wajah membatik menggusur tawa Tinggalah gemericik yang bernyanyi menyusuri senja kala Yogyakarta, 8 Oktober 2016

Dari Sudut Kesunyian

Melihatmu khusyuk dari sudut sunyiku bersama dendang lagu Dewa yang mengalir Rintik hujan membasuh sedu syahdu merintik melewati dedaunan yang sepi Jemari lentik melingkari sebatang pulpen biru membuat lekukan di sebuah kertas beralaskan papan Garis, garis dan garis begitulah kulihat kau dari sudut mataku Senyum mungil terkadang muncul terlempar dari bibir indah dan kembali lagi merujuk pada papan yang digarap. hujan masih menghiasi soreku. Bersama senyumanmu yang masih mengalir dalam rongga ingatanku. Dekanat FIS UNY, 7 Oktober 2016

Dari Sudut Kesunyian

Melihatmu khusyuk dari sudut sunyiku bersama dendang lagu Dewa yang mengalir Rintik hujan membasuh sedu syahdu merintik melewati dedaunan yang sepi Jemari lentik melingkari sebatang pulpen biru membuat lekukan di sebuah kertas beralaskan papan Garis, garis dan garis begitulah kulihat kau dari sudut mataku Senyum mungil terkadang muncul terlempar dari bibir indah dan kembali lagi merujuk pada papan yang digarap. hujan masih menghiasi soreku. Bersama senyumanmu yang masih mengalir dalam rongga ingatanku. Dekanat FIS UNY, 7 Oktober 2016

Samudera Doa

Biarkan waktu mempermainkan detiknya, juga rembulan yang menggagahi malam dan siang yang merasuki bumi. Hingga akhirnya hati tersadar betapa rumitnya mencintaimu. Walau waktu nyata ada Tapi arahku tak pernah sampai padamu Semu, semu dan semu Seakan aku hilang Sampai akhirnya masaku ada untukmu Dalam diam Dalam genggaman lirik doa Di situlah kidungku merekah dengan kasih sayang tulus yang membuana Menyingsingkan fajar dari ufuk timur Segenggam doa merangkak menuju singgasana Terbang ke angkasa Hingga akhirnya turun di 'arsy-Nya. Kasih, jadilah mawar yang harum. Yang menyerbakkan isi ruang hati Hingga malamku denganmu tiba. Dekanat, 5 Oktober 2016

Murkakah?

Di antara perih yang menghulu Tinggalah kesah Dari sesumbar angkara Bercerita tentang ketimpangan Rasa asih dan kasih seakan musnah Terlahap oleh jiwa-jiwa yang mati. Menghina tanpa dosa Bertuhan tak bermakna Lembaran yang katanya berharga mereka sembah Seakan tiada lagi yang berharga selain itu Nominal pun tak luput dari sesembahannya Oh Tuhan, murka kah Engkau? Ketika abdi-Mu tiada lagi "menuhankan" Mu Ketika itulah keluarga rupiah, dolar dan yang lain mulai berani menyingkirkan-Mu Dekanat FIS UNY, 5 Oktober 2016

Murkakah?

Di antara perih yang menghulu Tinggalah kesah Dari sesumbar angkara Bercerita tentang ketimpangan Rasa asih dan kasih seakan musnah Terlahap oleh jiwa-jiwa yang mati. Menghina tanpa dosa Bertuhan tak bermakna Lembaran yang katanya berharga mereka sembah Seakan tiada lagi yang berharga selain itu Nominal pun tak luput dari sesembahannya Oh Tuhan, murka kah Engkau? Ketika abdi-Mu tiada lagi "menuhankan" Mu Ketika itulah keluarga rupiah, dolar dan yang lain mulai berani menyingkirkan-Mu Dekanat FIS UNY, 5 Oktober 2016

Hujan

Malam ini Bulan menggagahi bumi Dan bintang menjadi saksinya Dalam bisu Terangkai kata yang membelenggu Menjadikan awan Mengendap di sekujur langit Ketika memendung Datanglah hujan Yang menyemai rindu Menghajar dari sisi kelabu Kost Kemal, 4 Oktober 2016

Cerita Arkend

Terangkai kisah dari sudut-sudut malam. Juga dari balik kopi dan coklat yang terpesan. Pada dinding, bercerita kisah dari bingkai dan potret berwarna. Dan aksara yang membasuh sepi dinding. Tak luput pula, rupa seni yang terbingkai dari kayu. Dendang lagu menemani alunan jemari Di balik ribuan beban, bukan alasan untuk tak berkisah dengan purnama dan pena. Dengan bejubel dilema di balik peristiwa tidak menyurutkan sukma untuk berkarya Melawan. Peduli. Memberi. Demi sebuah kisah sosialita sang jelata Demi kemakmuran yang belum melanda Demi itu pula, kisah masaku merajah sang penguasa. Arkend, 3 Oktober 2016

Cerita Dari Meja Bundar, Dua Cangkir Gelas dan Dua Bunga

:malam itu Dua gelas berbeda terhidang di sebuah meja Terlihat cantik, segar dan indah dengan buih coklat di dalam Di meja bundar, dua bunga menarikan jemarinya di atas keyboard yang setia menemani malamnya. #Bunga 1 Dengan mata yang berlapis terlihat fokus memandang layar yang merasuk ke dalam lapisan bola matanya. Sesekali mengulum senyum, kemudian kembali dalam lautan tugasnya. Walau mata kecilnya mulai merasa layu. Sesekali pula ia bercakap dengan kawannya Entah lelah yang dipaksa atau suntuk yang mengalun di dalam dirinya Tetap saja jari-jari lentiknya lihai menari di atas malam yang mengejar waktu esok. #Bunga 2 Diambilnya secangkir coklat dari si meja bundar kemudian kembali lelap di depan monitor Dengan enjoy, ia selipkan sepasang headset di daun telinga yang bersembunyi di balik kerudung pink itu. Seperti tiada beban dalam kidungnya Raut wajahnya cukup ceria, meski esok mengejar harinya. Dua bunga masih mengalunkan jemarinya di atas keybo