Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Aku Dan Persimpangan

di sisi mana aku harus berjalan. lalu lalang manusia menyapa. menganggap teman. beruntung tak dianggap lawan. aku hanya sekedar singgah karena keberadaan. setelah lepas, aku akan pulang. ke tempat awal kuberlabuh. aku selalu berjalan di persimpangan dengan segenap kegelisahan. gundah terkadang memberhentikan langkah di tengah cercaan. tawa hanyalah sekedar pelipur lelah. resahku di ujung tahun baru dan seribu kilo persimpanganku adalah keibaanku pada dunia. Yogyakarta, 19 Desember 2017

Selamat Hari Pahlawan

hari yang ditinggalkan pahlawan entah ke mana kudanya tinggal patung saja tongkatnya hanya menjadi hiasan museum kata-kata semangat menjadi radio lewat pahlawan oh pahlawan harimu kini sisa kenangan menggenang di sepanjang jalan berjalan menyusuri tahun-tahun yang mengalir siapa penerus pahlawan? adakah? apa hanya sisa batu nisan dan patungnya saja? atau cerita mereka yang dikisahkan dalam buku sejarah? selamat hari pahlawan yogyakarta, 10 Nopember 2016

Jatuh Cinta

Sudah Jatuh, Tertimpa Cinta. Bodoh. Mau apa? Hanya bisa mengemis rasa. Habislah! Bersama fatamorgana remaja. Jangan ada lagi, Jatuh cinta. Jatuh. Cinta. Cinta. Jatuh. Cinta jatuh. Menangis. Hilang diri. YK, 23 Oktober 2017

Candu

Cinta, nafsu dan candu. Game, waktu dan candu Kedai dan warung dan kafe, kopi dan candu. Kamu, aku dan candu. Kita, keadaan dan candu. Malam, suasana dan candu. Semua berkat candu. Kamu ada karena candu merasukiku. Karena kita terlahir dari sebuah candu. Pogung, 19 Oktober 2017

Tak Kunjung Sampai

Kamu adalah Aku adalah Kita, yang tak kunjung sampai. September 2017

Duniamu

Sabtuku adalah kamu Bersama debu-debu kendaraan yang berterbangan di ringroad Yogyakarta. Terik matahari menjadi cahaya obrolan kita. Senyum di wajahmu mengingatkan aku tentang satu hal: rasa. Ia bergejolak melewati sudut-sudut jiwa. Bergeliat dan merasa punya nyawa. Tapi harus kutahan rasa itu. Menanti masa yang tepat untuk kuucap kata asmara. Setelah kau menjelma bidadari Yang menjejakan nama dalam batin. Sadarku tentang kesendirian mulai rapuh. Jika memang kau adalah makna kebersamaan. Bawalah aku pada duniamu. 25 September 2017

Sebuah Perjamuan

Ada janji di pertemuan . Antara aku, kau dan tanggal kelahiran. Perjamuan waktu itu menjadi saksi. Dua mangkuk es buah dengan kuahnya. Menyegarkan pembicaraan kita. Belum lagi tawa di siang bolong Menjadikan cair perbincangan. Maaf soal peminjaman Bahwasanya aku belum mampu kembalikan. Tapi kelapangan hatimu tak menghiraukan. Sampai jumpa di perjamuan yang akan datang. Dan juga senja yang masih kau rencanakan. Ngawi, 2 September 2017

Membuka Kembali Sunyi

Secangkir kopi menemani malam liarku Dengan keramaian kendaraan lalu lalang Dan tembakau yang masih diam di bungkus plastik hitam. Pikiranku merajut hal langka. Yang sudah tiga tahun lamanya tak ada sua. Tentang rasa yang dilontarkan terang. Sosok wanita berkacamata memaksaku untuk berkata. Maka kususun kalimat agar tak ada salah padanya. Ia sangsi tentang aku Segala jawab kulontarkan dengan terbuka. Tak ada rahasia malam ini Hanya kesunyian saja yang merasuki aku. Meski telah kubuka segala cerita. Musik di kafe bak tak terdengar. Karena sepi masih menyelimuti diri. Sampai jumpa, hati. Kembali kusimpan kau di kesunyian. Rahayu Roaster, 7 Agustus 2017

Octa, Sebuah Angka Yang Tak Sampai

Ada delapan, di balik mimpi dan waktu. Ada delapan, dalam hitungan jarak. Entah sampai kapan delapan menjelma rasa. Mungkin masih di mata terletak cinta. Tapi, ada saatnya turun menuju hati dan menjalur ke otak. Membuat angka delapan selalu terpikir dalam sunyi. Lewat bingkai-bingkainya. Aku pandangi wajah ayu itu. Sambil menggumam, engkau memang kekasih idaman. Bila saja waktu adalah sebuah jalan. Dan jarak adalah kertas. Kan kulipat kertas itu tuk menelusuri jalanmu. Tunggu, masih ada mimpi. Yang membuat tiada terasa nyata. Indah memang, dengan parasnya yang penuh pesona. Mengalirkan darah untuk berpacu rasa dengannya. Apalagi senyum yang mekar. Menjelma rindu yang sama halnya mimpi, hampa. Dia tiadalah bagiku. Hanya sekedar. Angka delapan yang tak mungkin terpeluk. Yogyakarta, 27 Juli 2017

Ibu

Ibu , kau bukan hanya sekedar tepat untuk pulang. Lebih dari itu, kembalinya aku adalah padamu. Lelahmu bukan sekedar keringat. Karena darah pun kau rela menetes demi aku. Tak ada keluh Tak ada resah Hanya doa dan harap yang kuterima Juga perjuangan kata-katamu Yang ditelan oleh telingaku Serta dicerna oleh hati dan pikiran Hingga luluh menjadi air mata kehidupan. Yogyakarta, 15 Juni 2017

Kesetiaan Malam

Malam larutkan sadar manusia Irama angin goyangkan dedaunan Terlihat bintang menjadi kala yang berganti Disusupi imaji dengan secangkir kopi. Bahasa tertutur bersama gelak tawa. Kemudian asap-asap rokok berkibar dan hilang bersama udara. Tanda gelisah terbuang bersama lelah. Dendang lagu menggema di warung-warung kopi. Diselingi obrolan dan canda para penikmatnya. Banyak juga orang-orang yang menitipkan resah lewat alam mimpi. Juga lewat jinjitan-jinjitan jemari di atas lembar sajadah. Malam, sunyimu kian merambat Sekujur ruang semakin rapuh Namun, kau tetaplah malam. Yang setia dengan kegelisahan dan curhatan makhluk Tuhan. Yogyakarta, 14 Juni 2017

Buat Ibu Pertiwi

Biarkan petani mematung menjadi orang-orangan sawah. Demi mempertahankan mata kehidupan mereka dari penjajah. Pertaruhan wewenang memang gila. Bersandar pada tumpukan uang yang meraja. Indonesia, tanah air kita. Tanah air yang penuh air mata. Pilu dengan mayat yang digerogoti saudara. Terik matahari adalah sahabat setia. Ia sabar dengan diam di atas kepala. Tuan, jangan renggut lahan kami. Karena warisan harga mati. Tuan, jangan kau buat tangis ibu pertiwi. Karena merdeka bukan sekedar membuat penjajah lari. Yogyakarta, 8 Mei 2017

Usang

Biarkan aku bagian dari keusangan. Tapi ketahuilah, bahwa hal yang usang akan selalu dirindukan. Seperti sawah yang berubah menjadi gedung. Akan banyak orang rindu dengan hijau yang menghampar. Seperti hutan yang bermacam tumbuhan diganti dengan kebun sawit. Karena rindu juga hal usang yang berdiam diri di dalam rasa. Yogyakarta, 8 Mei 2017

Senja

Senja bisa saja menggila. Akhirnya menjadi rasa. Kemudian mendekap di relung jiwa. Frame 1: di Plered, Cirebon kutemukan senja yang bersembunyi di balik rindang pohon. Sebab jiwanya tak berhenti bergumam tentang bingkaian rindu. Frame 2: lagi, di ufuk barat, dalam perjalanan dari Semarang menuju Yogyakarta. Senja menyambut lelahku bersama motor tua yang setia kududuki. Meskipun dalam keadaan menyetir, kusempatkan tangan kiriku memotret sambutan senja yang hangat. Frame 3: dan lagi, senja belum mau tenggelam, seakan ia menemaniku sampai pada jalanan yang penuh rimbunan pohon. Menghabiskan jalanan yang diapit oleh sawah hijau merona. Ah, seperti gambarku sewaktu kecil. Sawah yang dibelah oleh jalan raya dsn diujungnya terdaoat bukit. Frame 4: itulah rindu, bingkai senja yang menghangatkan jarak pandang. Meski lelah menerkam raga dan pikiran. Dan saat itu, aku ingin bisa merasakan bagaimana bila aku menikmati senja bersamamu. Menghabiskan mendung menjadikan langit biru ataupun langit

Petani Zaman Ini

/dulu/ Tujuh tahun lalu Aku masih melihat banyak gubuk bertebaran di sudut-sudut kapling sawah. Di samping itu, caping dan arit masih menjadi benda mewah. Setiap sore, kulihat para tani pulang dengan senyum lelah. Bersama sekarung rumput milik perliharaannya, serta sepeda onthel tua yang dituntun mesra. Anak-anak kecil asyik dengan senar dan layangan yang berkibar di angkasa. Ada yang menjadi hiasan. Ada pula yang jadi aduan. Apalagi ketika sebuah layangan terbang bebas setelah putus dari senarnya. Puluhan kaki berlari mengejar. Sampai tangan-tangan lusuh meraih dan mulut berkata; aku dapat. Mulut lain juga berlata; aku dulu yang dapat. Hingga akhirnya tiada yang dapat karena layangan tercabik: agar adil. Dulu aku masih melihat hijau terhampar bebas dan luas. Di tengab desa, pun kota. Peduli apa, asap rokok saja tak terasa. Kalah oleh oksigen dari padi yang melambai girang. Ketika matahari menyengatkan teriknya, para petani menghibur diri di gubuk dekat sawahnya. D

Matinya Petani

Selamat menemani rembulan Dengan kesendirian Dan dengan beberapa air mata di setiap sudut senja. Selain itu, Nikmatilah daun-daun yang gugur dengan resah Oleh keterpaksaan tuan tanah. Lihatlah api yang berkibar, mereka menyuarakan keluh. Tapi keluh itu digesekkan oleh mereka yang berseragam coklat. Pedih gas air mata tak terasa Karena kepedihan sesungguhnya lebih ada di dada, nyata. Saat mereka memungut hak dari kesejahteraan. Demi kepedulian diri. Tanpa peduli diri lain yang hanya bercaping matahari. Petaniku mati(?) Dimatikan waktu yang mulai membengkalaikan keaslian. Pembangunan adalah bom waktu. Sebab digarap oleh tenggat yang segera. Dengan paksaan yang tak bersebab, namun penuh musabab Ampun pak polisi. Petaniku bukan teroris. Apalagi orang tak peduli. Katamu, kalian melindungi kami? Nyatanya perlindunganmu hanya sebatas kata. Nyatanya perlindungan itu hanya sebuah semu belaka. Kemana warisanku? Telah ditelan beton dan puluhan gedung. Kemana alamku yang

Berbicaranya Alam

Diam-diam dinding berbicara. Tanpa nada, tanpa suara. Memprotes kemiskinan yang bersandar padanya. Angin bernyanyi keras Menghambur-hamburkan harta di setiap kota. Bumi menari Mengubur dan porak-porandakan kemewahan. Api bergoyang ria Melahap rampasan yang tak seharusnya. Air berlari. Menerkam lalu lintas kebiadaban. Awan berkumpul Langit tertawa Hujan berpesta Kemudian membantai kebisingan dunia. Janti, 5 April 2017

Judulnya Ketika Sibuk

Setelah terlelap oleh kesibukan. Dan lambung juga belum terjamah oleh butiran nasi. Tak kusiakan waktu yang menjadi dalang dalam irama kehidupan. Setelah itu, kawanan pemuda duduk mesra dengan sekumpulan celoteh. Kusambung dengan sedikit tawa agar ada hiasan diantara percakapan. Waktu menggantikan mereka. Satu persatu hilang ditelan jalanan dengan motor-motor yang dikendarai menuju persinggahan. Malam semakin larut. Kopi Sumatra terpampang diatas meja Memanjakan lidah dan suasana. Kemudian gerimis manja menyapa alam. Diselingi musik dan tawa gembira. Sesekali ada yang berbicara dengan seriusnya. Sebongkah laptop berpesan dengan aksara. Suruhan lisan memindahkan arah pandang pada layar. Lalu mata menelusuri jejak kata di sebuah perangkat lunak dari laptop, berirama. Aroma puisi khas dari seorang Dhimas terpasung bertutur tentang seorang ibu. Sekali lagi. Malam ini kuserahkan pada gulita, entah tentang pristiwa, entah tentang kata, entah tentang segala kisah yang

Sambutan, Perpisahan Serta Cakrawala Dan Seorang Zahra

I Saat itu mendung menggerogoti perjalanan Seolah ia mengajak berkenalan. Di suatu tempat, baru yang dirasakan oleh raga serta jiwa. Menguliti tubuh ini dengan dingin dari sebuah puncak. Belum lagi roda motor tua yang rewel dengan kebocorannya. Sungguh sore itu disambut juga dengan deras hujan. Derai-derai rumput bergembira menyambut guyuran. Air menggelayut di sekitar dedaunan. Sungai kembung dengan aliran yang melimpah. Hingga waktu petang dan gelap menutupi sebuah pandang. Motor bebek tua dengan sekuat tenaga menggotong tubuh ini ke bagian puncak dari sebuah bukit dengan tanjakan yang berkisar tujuh puluh sampai delapan puluh derajat kemiringan, tak lelah para pengojek mengantar pemuda menuju suka cita. Kedatanganku waktu itu disambut juga oleh tanah basah yang tergenang air. Becek, berlumpur. Terasa sepatu yang dikenakan dipaksa tergantikan sandal. Untunglah warung kecil duduk di hadapan. Mampirlah aku di sebuah kursi panjang. Kemudian sebatang rokok disulut semb

Kutub Kembar

Semua tak terkira Menjadi garing oleh dua nyawa berbeda. Hilang... Hilang lalu tenggelam Melenyapkan keramaian cafe dan sound yang berdendang. Nemo, Maret 2017

Kebisuan Saksi Atas Perjumpaan Saat Senja Kala Di Yogyakarta

Aku pun belum bisa beralih dari senja itu. Saat sepasang bola mata melihatmu dengan tudung merah marun yang indah. Di perempatan jalan itu Ramai tak mengusik pertemuan kita. Lalu-lalang asap kendaraan pun juga tak kita gubris. Pertemuan itu, Ya, antara aku, engkau dan hujan. Dengan bola lampu jalanan yang kuning merona. Menghiasi aspal dari kegelapan. Hujan selalu bersaksi Bahwa tugu 1 Maret menyaksikan gelagat kita. Juga pohon yang setia tumbuh di pinggiran jalan Menjadi ornamen perjumpaan kala itu. Biarlah langit mendung selalu bergeming. Menyangsikan atas kehadiran kita senja itu. Sampai akhirnya jarak kembali mengasingkanku di tengah kota. Yogyakarta. 27 Maret 2017

Tapi

Sebuah kata Tak berujung Maknanya pun kemana-mana, jika diucap jika bertemu dengan problema. Kata tapi menjadi bahan pengalih Jika tapi membanyak Jadilah sebuah tipu. Boleh tapi Asal jangan tipu. 8 Maret 2017

Batik

Izinkan aku untuk membatik hatimu Mengalungi segenggam canting yang megah di hadapanmu Seperti batik coklatku yang setia Terkalung pada leher hidupku Izinkan aku menjadikanmu sebuah malabis Dengan motif batik yang temani kegalauanku Dan setia menghibur dengan bercak lilin terukir Kau malabis yang akan selalu kukenakan Kujaga dalam setiap keadaan Kau lebih mahal dari ribuan berlian yang tertambang dalam Lebih indah dari ukiran batik yang terpampang Lebih mempesona dari berbagai perhiasan Sekali lagi Izinkan aku membatikkan rasaku, padamu dalam kesunyian Ketika terang bulan Ketika purnama tengah megah-megahnya bersinar. Akan kukalungi hiasan batik di sekujur tubuhmu Dengan jiwaku yang mulai mengaksarakanmu Dan kata-kataku Lebih dalam dari galian berlian Lebih terukir dari goresan canting. Maka izinkan aku Membatikkan rasaku di relung jiwamu. 4 Maret 2017

Alasan Merenggangkan Temali

Kusut Carut marut rasaku selalu berkeliaran Membabi-buta dengan derap angin di tengah gurun Di setiap akal dengan lingkaran liar. Ada apa? Aku hanya ingin membasuh kepedihan Dari sebuah kata keinginan yang datang. Semua sudah kusam Tak berbentuk Tak bersudut Bahkan tak ada pula genangan yang bisa terhampar. Senja memang membuta Perlahan ia gelap dalam lamunan rembulan. Semua kurenggangkan Demi sebuah kebebasan Kembali liar dengan alam Serta kehidupan yang mewadahi kebisingan. Adakah yang tak sudi? Mungkin hanya sepenggal manusia yang peduli Biarlah Biarkan pikiran ini berkelebat dengan sunyi Dan tubuh ini melekat pada keriuhan hari. 1 Maret 2017

Tertinggal

Bertutur sebuah masa Yang mengelabui pikiran massa. Dari perawak seorang jenaka Ia membuai ruang dengan kata Berjibaku dengan dingin Dan kantuk yang menggelora. Tuhan, aku masih buta. Dengan naskah yang rancu Tak tau skema dan alurnya. Riuh tawa kadang menggelagat Mengisi suasana kosong malam itu. Dari cahaya bermahkota drama Di ujung penghelatan malam. Ada sesuatu yang tertinggal. Dialah rindu. 1 Maret 2017

Buka Puisi

Puisi pernah berpuasa Maka puisi akan berbuka. Sebelum puisi berbuka Puisi akan berpuasa. Jika buka adalah puisi Maka puisi berasal dari puasa. Buka puisi bukan sembarang buka Karena puisi berawal puasa yang tak biasa. Ini buka puisi Dari puasa puisi yang panjang. Sleman, 28 Februari 2017

Puisi Sasa Saja

Sendu merajuk dalam kedalaman yang syahdu. dengan segenggam novel Hujan Bulan Juni merundung bersama lagu Sheila On 7. Izinkan aku menyapa siang bolong dengan lapang dada yang bergelora. dan segelintir tugas yang merekah. juga deadline yang mengejar sepi. Di sini sekotak impian bersama bersesakan dengan suara dan udara juga menghimpit bilik seru. Tiada kata diam karena sendu itu kini merubah makna. dari keramaian suasana. FIS, 15 Maret 2017

Puasa Puisi

Setelah kehilangan kata, yang membuat puasa pada puisi. Kini kembali berbuka dengan: Puasa Puisi Dengan puisi Aku lupa padamu Dengan puisi Aku melayang pada semu Dengan puisi Aku tak punya malu Pada siapa lagi aku bertitah? Selain puisi-puisi yang berkisah. Pada siapa lagi aku berkesah? Selain puisi-puisi yang berserah. Kecanduanku pada sebongkah kata, tak bisa kupuasakan seenaknya. Kecanduanku pada kalimat mesra, tak ubahnya aku tengah bercinta. Sudah habis puasaku pada puisi Seperti hujan yang lama tak metes ke bumi Sudah lama puisiku sunyi Diam, hampa seolah tengah tak peduli. Sudahlah, akhiri puasa puisi ini. Banyak yang memendung pada kata-kata. Banyak pula yang ingin menelaah kalimat rima. Puasanya sudah tak buta. Puisinya sudah tak berpuasa. Maka puasaku pada puisi kupisuhi saja. Yogyakarta, 27 Februari 2017

Tanahku, Tanahnya Bukanlah Tanah Mereka

Tanahku menggerutu Ketika ribuan peluru menghentak ke udara Mengusir para petani Memaksa dengan seribu alasan. Tanahnya dirampas Dengan kata pembebasan. Lahan menjadi beton yang tertanam dalam. Tiang-tiang dipasung demi sebuah pembangunan. Tanahnya diusir Dengan semen-semen yang melekat erat. Juga aspal yang menjadi landasan kerusuhan. Tanahnya hilang. Ditelan lumbung keserakahan. Februari 2017

Judulnya Malam

Di sudut malam, banyak cerita dari derai kehidupan. Mengadu pada Tuhan. Dan bersesenggukan. Ada juga yang meminta jalan Pula menemukan waktu dengan masa depan. Banyak pula yang bercekikikan. Dengan asap tebal dari tembakau pilihan. Dan curhatan antar insan. Di setiap malam. Doa-doa menguntai tajam. Menghujami penjuru langit dengan kesungguhan. Tiadakah manusia yang mendengar, selain Tuhannya. Selagi sajadah masih membentang. Jangan jadikan ia sebagai tikar tempat tidur. Karena banyak air mata yang emnjadi saksi, atas kuasa dari sajadah malam. Yogyakarta, 13 Februari 2017

Hak Asasi Kini

Hak asasi kini buta. Dan kebutaan itu yang menjadi candaan malam. Kalau sudah keadaannya malang. Barulah terbuka dari kebutaan. Komojoyo, 10 Februari 2017

Setitik Cahaya Dari Sebuah Mendung

:teruntuk Permata Apakah cahayaku masih redup, Permata? Telah kucincang habis maluku untuk sebuah kata rindu. Mulanya ia hanya berselancar. Namu, tak lama ia mendekap dalam lamunan karangku. Taukah kau Permata? Mendungku mulai menebar di atas awan. Dengan hiasan senja yang pernah kubingkai untukmu. Dan kupasrahkan adanya padamu. Lagu-lagu cinta memang terlihat usang. Selalu saja tentang rasa yang tak berujung. Terkadang di penghujungnya hanya sebuah jurang. Lantas apakah aku akan terjun? Mungkin rasa ini berkata; ya. Tapi tidak dengan jiwaku. Ia lebih memilih menelusuri jurang itu, dengan hati-hati, dengan semua perasangka pelangi. Senja masih ada di genggaman, Permata. Ia ditemani lampu-lampu jalanan yang syahdu. Juga keramaian lalu-lalang binatang berakal. Kini aku berselimut mendungmu. Dengan lagu-lagu sendu dari "Kafe Jakarta, Senja Kala". Biarkan cahaya menyelinap sepi Meski hanya setitik peniti, dari balik mendung. Biarlah waktu yang merajut cer

Pikiran Dalam Jeruji

Aku belum bisa membasuhmu Dari malam-malam yang penuh cerita Dengan segenggam kata cinta Yang membatik dari dalam hati. Terlena kadang membodohkan jiwa. Membiarkan ia hinggap dalam sketsa semu duniawi Tanpa ada lentera yang mengawani jalanan. Banyak orang yang mengamini kebetulan. Namun, yakinkah dikau ada suatu kebetulan? Lantas, kebetulan adalah suatu peristiwa yang tak disangka Bagaimana dengan kesalahan? Mungkin jiwa-jiwa terlalu larut pada kejadian. Bahkan kata kebetulan hanyalah bagian dari skenario yang tertuliskan rapih Di atas lembaran-lembaran Tuhan. Mungkin kata cinta terlalu sempit, terkadang. Pula terlalu luas orang memandang. Maka, kebodohan mana lagi yang tak tampak? Bukankah manusia terlahir dalam keadaan bodoh? Biarkan pikiran ini terjeruji dalam lingkup cinta. Hingga senja kala tak mau sambut petang kita Juga rona mega yang tak ingin melihat pagi kita. Dan matahari bersembunyi di balik kawanan awan Yang gulita dan senyap. Yogyakarta, 8 Februari

Malam

Setiap sudutnya mengurai tawa Kadang juga air mata. Berkisah juga terkadang pada malam Selain itu berkesah di penghujung malam. Seketika gemintang membaur diantara awan dan bulan. Bergembira menyambut malam Yang cerah Yang berawan, jarang. Seperti perasaan yang kiang meraja. Seperti lamunan rembulan yang setengah padam. Ia temaram di balik angkuhnya kejujuran. Tuhan. Perasaan bukankah malam? Yang selalu bersembunyi di banyak kegelapan. Masih saja raga diam. Di balik rimbanya pikiran dan lebatnya kehidupan. Yogyakarta, 7 Februari 2017

Sekotak Senja Untuk Bangka Barat

Di jalanan, Kutuangkan kalimat kesederhanaan. Dengan bingkai pilu di ujung cakrawala. Sekotak asa bersinggah Dari taman ke taman Dari jalan ke jalan Untuk menebus kebahagiaan. Datang kepada kerumunan senja. Sejak terik menyetubuhi kulit. Hingga mendung merenung di langit. Dari air mata yang mengalir. Mengetuk sudut-sudut hati untuk berempati. Kepada mereka, yang mengharap kebahagiaan. Air yang mengalir. Menjadi guncangan kesedihan. Membuat tabu kehidupannya. Tapi Tuhan tidak diam. Bah itu hanya kasih sayang Bagi siapa yang terbuka hatinya. Juga rasanya. Yogyakarta, 4 Februari 2017

Tentang Cinta

Terlalu banyak puisi tentang cinta. Sehingga aku hanya bisa bersandar dan memandangnya dengan diam. Dengan sedikit tenang. Jiwaku berkelana di setiap cakrawala. Dan setiap malam, kukunjungi keresahan di antara bintang. Biarkan waktu mendiamkan, aku. Dengan kesendirian dan keheningan. Karena kebersamaan adalah sebuah pengembaraan. Puisi-puisi cinta terkadang membuatku bosan. Akan tetapi, kata tak mungkin terucap dan tertuang tanpa ada cinta. Karena cinta bukan hanya tentang perasaan. Tapi juga tentang keadaan. Cinta, rasa dengan beribu makna. Berjuta arti. Dan bermiliar tafsir. Semua bergantung pada keadaan yang berada. Juga rasa yang terbuka. Yogyakarta, 3 Februari 2017

Sajak Sesudah Berjuang

Dan lalu Angin menyambut rindu Kepada matahari Dan lalu Hujan memberi cinta Pada sang pejuang Dan lalu Cerah akan datang Dengan cahaya yang benderang Seperti kenangan ini Yang berjuang Demi keadilan. YK, 2 Februari 2017

Kawan, Dalam Doa Dan Salam

Persahabatan kita masih ada Hingga mata terkatup selamanya Hingga kata-kata yang tertulis meredup, padam. Telah abadi dalam salam dan barisan sajak Menuju langit bagai tiang Kepada Baginda Rosul dan juga Sang Pencipta. Aku bukan hanya singgah. Tapi akan tinggal selamanya. Tanpa ujung Tanpa perbatasan. Dan asap-asap yang telah melayang Menjadi saksi bisu atas kekerabatan kita. Dan ruang yang diam Di hadapan rumah dengan rimbunan pohon mangga. Juga perosotan dan mushola Serta tembakau dan gitar yang menari riang. Aku akan kembali kawan Dengan nama persahabatan Dan atas nama kenangan yang kubawa pulang Bahteraku belum usai. Masih berlayar di tengah lautan manusia Sampai jumpa kawan Salamku juga tak berujung Seperti sajakmu yang abadi Di dalam sangkar Dengan barisan rapi. Doaku padamu Sana seperti doamu padaku. Semoga. Adalah harapan rindu. Agar kita kembali bertemu. Yogyakarta, 1 Februari 2017

Sebongkah Cahaya Dari Warung Kendi

Dalam sebuah malam Telah terukir kisah Dari sebuah keluh kesah yang mendalam. Semua tentang kehidupan dan percintaan yang melenakan. Membuat seorang yang terlihat garang Menjadi cupu di hadapan sebuah perasaan. Bukan lagi masalah perbedaan melainkan rasa yang terlanjur kecewa. Membuat benci Dan membuta sementara. Tentang kedewasaan, terkadang ia muncul dengan sendirinya. Setelah melalui tela'ah yang panjang Dari hari-hari yang tabu. Dari cerita panjang Seorang lelaki dengan wajah garang mengoceh semua perihal asa dan rasanya. Seorang jangkung mengarahkan Seolah membuat cahaya dalam keruh permasalahan. Semua mengenai dua hati yang harus disatukan. Semua mengenai rasa yang harus diterimakasihkan, pada Tuhan. Semua mengenai pandangan yang lebih rasional. Untung saja ketika curahan hati terlontar. Dari sebuah handphone terdapat satu pesan. Dari Permata yang ingin membaikan keadaan. Skenario Tuhan memang terbingkai kejutan. Tak disangka dari hati seorang lela

Deru Yang Berlalu

Lalu datang Lalu pergi Lalu kembali Lalu menyakiti Semua permainan lalu. Dan kemudian menjelma aku Dan hitamlah suasana baru, berdebu kusut berbekas masa lalu Dududu Dendangkan lagu Tentang lampau yang berlalu. Yadudu. Yogyakarta, 30 Januari 2017

Jogja, Luka Dan Sebuah Perjumpaan

Hari ini gerimis menyelimuti Yogyakarta Semenjak aku datang dengan membawa sebongkah kenangan dari sebuah luka. Ketika ia mulai mencoba membenciku Ketika itu pula, langit Jogja seakan menyambutnya dengan gerimis sendu Seperti tangis yang mengguyur jiwa Atas salah yang telah tertera. Biarkan benci menjadi gumpalan kata, padamu. :mungkin Atau sebagai imbas kesalahanku. Aksara-aksara ini tak mampu lagi menahan kesedihan, Kesalahan, Keresahan, Kekecewaan, Atas diri sendiri. Semua telah membubur peristiwa. Hanya tinggal ikhlas atau dendam yang dibawa. Jika Tuhan berkenan, izinkan aku untuk meminta maaf kepadanya. Sebelum aku raib dari balik gerhana gulita. Permata mungkin tak lagi bercahaya ;padaku Tapi, kucoba persembahkan puisi ini untuknya Agar tak layu dalam kelam peradaban. Sepatah kalimat kutujukan untuknya Dari dalam doa yang syahdu di ujung sajadah waktu. Biarlah kebencian menghapus luka. Meski luka sesungguhnya takan bisa hilang. Hanya saja bisa dibasuh

Maaf, Wahai Sang Sederhana

:teruntuk Mariska Maaf jika sakit telah mengenaimu Bukan maksud kubuat luka dalam kisah Tapi semak-semak masih terlalu tinggi untuk bisa di lewati. Cerita kita Rentangan senyum yang lebar Pernah terajut di kota Jogja. Hadirnya ia telah lama, neng. Ini bukan lagi rahasia. Tentang adik yang datang saat aku besar. Tentang ia yang jauh di seberang sana. Maafkan luka yang sudah menganga Meski mungkin tak bisa dilupa Tapi terlanjur adalah kata yang sudah mengembara Dan lupa bukanlah hal yang sederhana Tetaplah menjadi bunga, neng. Yang mengharum bumi dan langit. Kutitipkan salam lewat doa-doa. Tetap menjadi wanita yang sederhana, neng. Yogyakarta, 29 Januari 2016

Di Perempatan 0 KM

Senja Dan dua pasang kaki Dan gerimis yang manja Dan bangunan tua Dan keramaian pasar Dan jalanan Malioboro Dan keramaian jalan raya Dan para pedagang Dan para gelandangan Dan para petugas Di situlah cerita terlampau Dengan senyuman manja Dengan tawa ikhlas Di perempatan jalan 0 kilometer namanya Ada dia Yang sunyi menjadi kenangan Ngawi, 26 Januari 2017

Sidangku

Sidangku tak kunjung rampung. Tanpa solusi. Hanya hujat-menghujat. Tiada kemajuan. Sidangku tak kunjung usai. Berkembang saja tidak, apalagi memandang masa depan. Alasan klasik terlontar, dengan perkataan :bukan maksud untuk menjatuhkan. Kebodohan, kebodohan. Tiap tahunnya begini saja. Bagaimana bisa dipandang? Bagaimana akan diunggulkan? Ya sudah, hancurkan saja. Biar pecah belah. Yogyakarta, 15 Januari 2017

Warna Semesta

Menghempas Kemudian bersarang dalam kekosongan. Dunia ini enggan bersedekap. Kepada sebuah peradaban yang alami. Terlanjur tangan membusuki alam. Hingga lanjut pada kericuhan. Keresahan. Kebiadaban. Terserap dalam imaji-imaji dewa. Mengharapkan abadi. Menginginkan sempurna. Tapi sayang, semua hanya sebatas kata. Karena sebuah luka Semua tak tercerna. Semua tersendat dalam batu angkara. Akal pun menjadi bisu. Buntu. Dibolak-balikkan oleh logika. Sehingga mati. Terkurung oleh rerimbunan jahanam. Biarkan malaikat berseru. Membimbing putih dari hitam. Lewat risalah sang manusia. Putih. Hitam. Putih. Hitam. Bumi kelabu. Terbang di semesta alam. Ngawi,  20 Januari 2016

Tak Ada Yang Lebih Sederhana

Tak ada luka yang lebih sederhana dari senja yang telah usang ditutup oleh zaman. Tak ada cinta yang lebih sederhana dari hembusan udara yang merasuki paru-paru hingga ia tahu makna hidup. Tak ada cita yang lebih sederhana dari sebuah angan yang tercapai saat ajal menjemput sebuah keadaan menjadi ketiadaan. Tak ada yang lebih sederhana dari cara kau memahami dirimu sendiri. YK, 8 Januari 2017

Izinkan Aku

izinkan aku berkelana bersama ruangmu dan menjadi bahasa di setiap gerak-gerik tubuhmu. izinkan aku menyampaikan isi hati lewat angin yang bersemilir syahdu lewat ombak yang berderu merdu. izinkan aku memanjat bersama sisa umurmu meneropong alur lajumu dan menyisakan buih-buih indah dalam kesederhanaan. izinkan aku mengarungi waktu bersama aliran darahmu. Yogyakarta, 5 Januari 2017

Sajak Tahun Baru

Cahaya berkembang di langit kemudian hilang. Kemudian langit kembali pekat. Hanya gemintang kecil yang menitik-titik di angkasa. Tahun baru, tapi musim tetap saja sama. Sama seperti sekarang dan sebelumnya. Hingga nanti yang akan datang. Dekanat, 5 Januari 2017

Biarkan Hujan

Biarkan hujan basahi bumi. Menjadikan ekspresi wajah pribumi. Ketika penguasa melupakan rakyat. Hujan hanya menjadikan tangis. Petir dan gemuruhnya sebagai amarah. Bumi basah dengan aliran -aliran kesedihan. Pohon-pohon tak tega menari. Angin tak mau bersembunyi. Hukum alam akankah merajah mereka. Yang lupa dengan sesama, bahkan yang di bawahnya Teraniaya dengan sunyi. Biarkan hujan terus basahi bumi Menjadikan dingin dari panasnya gemuruh isi bumi. FIS UNY, 5 Januari 2017

Tumbal Untuk Kesedihan Hujan

Karena hujan menahanku untuk pergi. Agar tetap bisa bersama. Menikmati irama rintihan air dari langit. Dengan mendung awan yang bergeluduk. Dan kilatan yang menjadikan tangis itu kian memekik. Negriku diguyur hujan. Diiringi desahan angin. Air tak mampu lagi tertampung di awan. Sampai senja, sampai menjelang gulita datang. Hujan masih telusuri negriku denga sesenggukan. Langit belum juga terang. Masih adakah cahaya yang mau hapuskan tangis dari langit. Agar tak ada lagi kesengsaraan di bumi pertiwi. Hujan, jadikan aku sebagai tumbal kesedihanmu Taman Ganesha, 5 Januari 2017

SAJAK DI UJUNG DESEMBER

Cerah tengah menyambangi Di ujung Desember yang bergembira Bersama rintikan air Bersama deburan ombak Dan angin yang semilir Pada ujung Desember Ada harapan yang tumbuh Bersemi seperti awal Januari Yang siap mengganti tahun. Ujung Desember menyambut gembira Dengan gema lagu suci Juga siraman rohani di ujung senja. Pula keramaian anak kecil yang menyertai Dan sorak sorai terompet. Di tengah malam. Masjid Al-Mujahiddin UNY, 30 Desember 2016

Bunga Dalam Semayam

Di suatu malam Termenung sosok bunga dalam ingatan Kemudian hilang, pergi bersama helaan nafas. Serupa matahari yang bercahaya Tapi tak menyilaukan Seperti rembulan Namun lebih terang. Dalam semayam Terlontar kata-kata permohonan: Tuhan Petikkan aku satu bunga yang harum Untuk kutanam di halaman hati Bunga yang mekar dengan hijabnya. Bunga yang harum dengan kehidupannya. Di balik mimpi, Banyak terselip bunga-bunga yang berwarna. Ada putih, biru, merah bahkan abu-abu. Rona mempesona. Tapi sayang, banyak yang terukir dalam landscape. Hitam penuh bayang. Membelakangi cahaya. Dalam semayam Sekali lagi kata terlontar: Tuhan Tanamkan satu bunga Di atas hamparan hati, Dan hiasi dindingnya dengan vas megah Indah penuh warna-warni mempesona. Yogyakarta, 3 Januari 2017