Matinya Petani

Selamat menemani rembulan
Dengan kesendirian
Dan dengan beberapa air mata di setiap sudut senja.
Selain itu,
Nikmatilah daun-daun yang gugur dengan resah
Oleh keterpaksaan tuan tanah.

Lihatlah api yang berkibar,
mereka menyuarakan keluh.
Tapi keluh itu digesekkan oleh mereka yang berseragam coklat.

Pedih gas air mata tak terasa
Karena kepedihan sesungguhnya lebih ada di dada, nyata.
Saat mereka memungut hak dari kesejahteraan.
Demi kepedulian diri.
Tanpa peduli diri lain yang hanya bercaping matahari.

Petaniku mati(?)
Dimatikan waktu yang mulai membengkalaikan keaslian.
Pembangunan adalah bom waktu.
Sebab digarap oleh tenggat yang segera.
Dengan paksaan yang tak bersebab, namun penuh musabab

Ampun pak polisi.
Petaniku bukan teroris.
Apalagi orang tak peduli.
Katamu, kalian melindungi kami?
Nyatanya perlindunganmu hanya sebatas kata.
Nyatanya perlindungan itu hanya sebuah semu belaka.

Kemana warisanku?
Telah ditelan beton dan puluhan gedung.
Kemana alamku yang dulu asri?
Ternyata sudah dimonopoli pabrik serta tambang.

Indonesiaku sudah laku rupanya.
Petaniku sudah mulai dilayukan ternyata.
Lalu bagaimana identitas negri agraria?
Ternyata banyak hotel dan bandara.
Sawah-sawah ada di mana?
Oh, tertimbun mall dan plaza.

Negri agraria tinggal negri katanya.
Muak sudah dengan wakil negara.
Dulu berkoar membela rakyat,
sekarang mereka anggap jadi mayat.

Petani, jangan malu.
Karena kalian pahlawan kehidupan negri.
Petani, aku rindu.
Jangan mati sebelum kembali.

9 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QUARTER CRISIS LIFE

KABAR DARI RUMAH DOA

Gerimis Senja Di Malioboro