Sambutan, Perpisahan Serta Cakrawala Dan Seorang Zahra

I

Saat itu mendung menggerogoti perjalanan
Seolah ia mengajak berkenalan.

Di suatu tempat, baru
yang dirasakan oleh raga serta jiwa.
Menguliti tubuh ini dengan dingin dari sebuah puncak.

Belum lagi roda motor tua yang rewel dengan kebocorannya.
Sungguh sore itu disambut juga dengan deras hujan.

Derai-derai rumput bergembira menyambut guyuran.
Air menggelayut di sekitar dedaunan.
Sungai kembung dengan aliran yang melimpah.

Hingga waktu petang dan gelap menutupi sebuah pandang.
Motor bebek tua dengan sekuat tenaga menggotong tubuh ini ke bagian puncak dari sebuah bukit
dengan tanjakan yang berkisar tujuh puluh sampai delapan puluh derajat kemiringan,
tak lelah para pengojek mengantar pemuda menuju suka cita.

Kedatanganku waktu itu disambut juga oleh tanah basah yang tergenang air.
Becek, berlumpur. Terasa sepatu yang dikenakan dipaksa tergantikan sandal.
Untunglah warung kecil duduk di hadapan.
Mampirlah aku di sebuah kursi panjang.
Kemudian sebatang rokok disulut sembari memesan secangkir kopi.

Sampai pukul sembilan malam.
Sebuah gazebo, katanya. Mungkin lebih tepatnya pendopo mini. Memandang senyum tubuh-tubuh yang lusuh.
Hati dan pikiran bergumam; saatnya hiburan.
Pendopo yang baik pun bersedia menaungi manusia-manusia dengan senang hati.

Bulan kembali cerah dengan segelintir awan yang memadati angkasa.
Cakrawala megah tersuguhkan dan gemintang menari dengan gemulai.
Malam ini milik kita, ujar MC dari sebuah microphone.
Lalu lantunan lagu mengisi suasana.
Tak luput pula puisi-puisi terucap dengan sadis menggetarkan malam gembira.
Semua senang.
Bahagia tergurat dari senyum dan tawa para peserta.

Malam semakin larut.
Pukul duabelas saat itu.
Beberapa orang ternyata disambut oleh lagu kehidupan,
atas sebuah umur yang bertambah nominalnya.
Oh... Ini bagian dari acara mereka.
Kembali saja mulut-mulut berteriak dengan syahdu.
Tak peduli suasana serta gulita.
Angin malam pun tak digubris.

Hingga akhirnya tawa melayu.
Tubuh-tubuh merengkuh di balik selimut,
dan sarung-sarung melingkar di pinggang.
Kehangatan.
Ya, kehangatan adalah nikmat yang ingin dirasakan setiap orang.

Tapi, hanya segelintir yang masih menyukai gulita dan obrolan.

II

Seorang lelaki setengah baya berkisah.
Tentang sejarah desa dan wisatanya.
Kleco, begitulah terlontar nama daerah yang masih asri, subur dan hijau menggoda.

Tak terasa pukul dua dini hari.
Rasanya tubuh ini ingin merebah di sebuah ruang.
Tapi sayang, hanya setengah jam mata terkatup,
mengharap bunga tidur datang menghias pulas, tak tercapai.
Akhirnya kembalilah aku menikmati malam panjang dari sebuah kursi panjang.
Dan lagi, ditemani bapak paruh baya yang juga masih belum tertidur.
Ia pun kembali berkisah tentang masa lalunya,
saat muda dan hanyutlah telinga oleh cerita.

Akhirnya subuh tiba.
Langkah kaki kembali menuju bagian sakral tempat itu.
Memandang luas cakrawala.
Berhiaskan sekelumit cahaya dari timur Yogyakarta.
Fajar yang sedikit demi sedikit mengintip di balik luasnya angkasa.
Menakjubkan pandang seolah surga ada di depan mata.
Indah bukan?

Oh, belum lagi seorang wanita muda yang berparas sendu.
Berucap dengan lembut tentang sastra dan diselingi senyum dari bibir manisnya.
Seakan dia bunga yang menghias mata di pagi buta, seperti yang tercantum pada nama tengahnya dalam bahasa Arab, Zahra.

Ah, bersyukur sekali saat itu.
Aku berterimakasih pada alam,
atas keindahan pemandangan serta sebuah kembang yang datang menyapa kata.

III

Seperti itulah pertemuah megah.
Di kelilingi cakrawala, dinaungi angkasa dan disambut setitik cahaya yang mengintip dari gulita.

Sampai akhirnya lelah menjemput di siang kala.
Sebelum bingkisan potret menjelma rasa.

Dan saat perpisahan,
hujan melepas kepergian.
Seakan tak rela aku, Zahra serta mereka pergi sebelum senja.

2 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QUARTER CRISIS LIFE

KABAR DARI RUMAH DOA

Gerimis Senja Di Malioboro