Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Di Ujung Senja, Sang Pujaan Memikirkan Nasibnya

Terlalu banyak imaji tentang cinta Yang mencumbui waktu dalam gelagat rindu. Lebih baik terhening dalam perasaan Hingga tiada sangka dalam rasa. Biarkan senjakala mengusang Di balik semayam matahari dan deburan ombak Dan cakrawala yang menjingga. Cahaya itu masih ada Di pelupuk kehidupan Di bibir kenyataan yang tak karuan. Membimbang di tanah orang, Tak lain itu tanahmu. Tanah lapang yang sebenarnya halaman hati. Karang-karang masih disetubuhi ombak Bulan sedikit mengintip dari balik langit yang mulai menghitam. Sang pujaan ada di ujung senja Berpakaian lusuh dengan rambut yang diacak angin. Berada dalam lamunan malam. Termenung di hadapan camar dan kapal-kapal sunyi Dengan segenggam buku yang tertulis namanya. Hingga senja kehabisan cahaya Sang pujaan tetap diam Sampai pagi menjemput mentari. Yogyakarta, 28 Desember 2016 Tulisan lainnya bisa dilihat di albakasy.wordpress.com

Ibu

Bola matamu bagai cahaya yang ingin kuselami Tangismu adalah kebenaran dari aku Kau mewaktu dalam bayang Menjejak abadi bersama pelukan doa Tiada lagi kau, selain Ibu Yang mengasihi dengan irama sederhana Di balik malam Rela wajahmu bertunduk pada Tuhan Demi aku, segumpal darahmu yang kini berakal Hingga subuh menjelang Sembab wajahmu membatik syahdu Untuk seorang anak Di tengah kerumunan rakyat. Ibu, jadilah pemadu dalam ruang yang penuh duri Meski jurang menerpa keselamatan Meski aku masih abu-abu dalam kehidupan Engkaulah tangan kanan Tuhan Menuntun arah kemana harus melangkah. Ibu. Jadilah bidadari tak bersayap Namun peluhmu Yang mensucikan setiap langkah darah hidupmu. Yogyakarta, 22 Desember 2016

Seorang Pria dan Malamnya

Jika memang terlampau batas Atas luka yang terbalut sunyi Dan membiarkan air mata mengalir Mengairi lekuk wajah di pipi Itu sebuah salah yang dalam dari seorang lelaki Yang telah membiarkan perih menjadi derita. Jadikan persahabatan sebagai jembatan rasa Antara seorang pria dan wanita Yang sebetulnya belum rela pergi meninggalkan hati. Di ujung sana Masih ada cakrawala yang luas Menembus garis bayang yang tiada Bersama segenggam harapan yang belum tersentuh Bahkan tidak diketahui, Ketahuilah wanita Bahwa pria ini membutuhkan jiwa tegar dari sebuah luka Dari perbedaan yang merenggut rasa Dari berbagai jerit hati Melalui sajak-sajak sunyi Disini hanya ada diam lalu membeku Dalam malam yang semakin larut Hingga mentari menyapa pagi. Pria ini masih berselimut salah Dengan sebaris luka yang terukir Pada cerita lalu. Yogyakarta, 22 Desember 2016

Kidung Desember

Ya, Desember ini menyisakan luka Memang tak sedalam sebelumnya Tapi aku masih tak sudi akan tanyamu yang bergelayutan Seolah perbedaan merenggut rasa yang mulai terpupuk Semua senja telah kubingkai rapuh Dalam doa di sepanjang dedaunan Masam mukaku terbatik oleh sunyi Atas dasar apa aku melukaimu? Maaf. Rajutan angin telah hilang Terusir oleh kata-kata yang tercampakan Bersama diam embun di pagi buta. Ah. Mungkin ini salahku Perihal percakapan itu Aku terlalu buta dengan perbedaan Sehingga derap air mata membanjiri hati yang usang Sudah lah. Biarkan awan mendung mengguyur rindu Seperti cerita kita ketika senja Seperti keramaian di sudut Malioboro Seperti itulah rasa yang membalut rindu. Yogyakarta, 19 Desember 2019

Rindu Hujan

hujan, derasmu seperti air mata yang tak kunjung henti, berkeluh dengan doa, dan pasrah meski telah melawan. hujan, teruslah kau jatuh, merintik dan lalu meleburkan jiwa-jiwa batu yang tak peduli akan keadilan. hujan, genangkanlah cahaya, bagi rakyat yang dijajah oleh keserakahan. hujan, jadilah rindu, yang tak kunjung henti untuk berdendang DIY, 30 November 2016

Cahaya Rindu Kesatria

Cahaya Meruntuh Lalu tertutup mendung. Hikang ditelan kelabu Dari atas Dari kuasa-kuasa ganas. Cahaya tercecer bersama gerimis air mata yang ingin hapus kerapuhan Di mana kesatria? Yang akan menjaring cahaya Dan menjadikan cerah kenyataan. Cahaya meruntuh Tercecer dan menggerimis pada gelap DIY, 25 November 216

Laut Rindu

Pada pasir yang menghias ruang, juga debur ombak yang memecah sunyi. Di sini raga tengah merindu. Kepada lauutan, camar-camar mengharap hidup. Dan cakrawala menghampar senja. Pasir-pasir mendesir angin. Awan megah hiasi langit. Oh, maasihkah ada raga yang menyendiri? Selimut dingin hampiri pori kulit. Ya, ini rindu yang mendebur ombak. Memecah suasana hening dalam lamunan insan. Yogyakarta, 25 November 2016

Gerimis Senja Di Malioboro

Senjaku di Malioboro Petangku bersama hujan. Sampai jumpa sayang, semoga selamat mengiringi perjalanan panjang. Kini angin menantikan mendung, menjadikan kisah yang menggerimis di jalan. Cenderamata keabadian darimu, kan kupeluk dari bola mata. Dan kusimpan dalam memori kepala. Terima kasih. Sampai jumpa. Semoga, Bumi Manusia menjadi perantara di awan. Dan jalanan Malioboro, menjadi saksi bisu kehidupan. Malioboro, 26 November 2016

GURU

  kau yang digugu dan ditiru yang sebarkan buih cahaya berupa ilmu kau yang merampas kemunduran menghapusnya menjadi masa depan yang berperadaban kau, nadir yang siap mengaliri benih negri dengan seuntai doa dan harapan kau, yang membuka mata tentang keadalian yang tertindas wahai guru! hadirmu menghidupi anak bangsamu dari penjajahan moral dan pikiran oh guru! perjuanganmu tak pernah usai walau peluhmu menjadi darah yang bercucuran guru, salam hormat kami untukmu pahlawan negriku.  ( Yogyakarta, 25 November 2016)

Wajah Tanah Air

Negri ini damai Negri ini makmur Negri ini indah Tapi, saat pemodal datang Rakyat terjerat Tertindas dan terampas Tanah dirajah rumah mewah Sawah diubah bangunan megah Ladang digusur bandara Ya, negri ini subur dan makmur Bagi penguasa yang berkuasa, Yang perkasa dengan uang dan jabatan Inilah wujud negri Negri kesatuan republik investor Menjajah para buruh dan tani Mengubur agraria yang telah menjadi saksi Negri ini indah Dengan pohon beton yang menjadi gedung Negri ini damai Damai dengan lapangan bandaranya Negri oh negri NKRI itu harga mati Bukan rakyat yang diburu dan diadili Oleh aparat dan polisi. Yogyakarta, 25 November 2016

Gerimis Di Bulan November

Nyatanya, November telah menghilang Menjejak langkah dari sebuah simponi sunyi Kesedihan memenggak suasana. Mental telah dirasuki belenggu. Oh, Tuhan menegur dengan manis dari nada-nada pilu. Bergelantungan sesuai takdir, nadir yang membawa kisah. Hikmah tergurat dari peristiwa, jatuh seperti hujan. Dan, cakrawala yang melintang. Ketika sukma telah menembus awan, di situlah darah akan menggaris waktu. Bersama lamunan batu, dan gerimis kidung. Yogyakarta, 9 November 2016

Sajak Tiada

Jika memang tawaku mulai tiada dan ragaku mulai ditelan keranda biarlah sajakku yang menjadikan, ada. Meski ketiadaan menyelimuti sitiap jiwa, tetap saja kata itu ada. Tersusun rapih dalam selimut rindu. Yang tiada mejnadi ada, dan yang ada menjadi tiada. Yogyakarta, 3 Novemper 2016

Langit Untuk Bumi

"Engkau tuliskan yang kerapuhan Bangkai api berselimut darah" Dari langit kau tentukan arah Diantara orang-orang yang sepi akan keadilan dan kepedulian Di kolong jembatan Tengik rasuki jiwa-jiwa melarat Sudikah? Jika sedih mereka kau basuh dengan kebahagiaan. Rapuh di dalam kefakiran Yang tertulis dari lembaran empati. Dapur angkara membuat api, dan jalanan yang berselimut asap. Juga darah yang menjadi peluh. Adakah kehadiran jiwa langit yang membumi untuk mereka? Yogyakarta, 11 Oktober 2016

Lagu Untuk Ibu Pertiwi

Dalam derap langkah waktu Yang di atas membela uang menjadikan Tuhan Budak-budak yang terikat rupiah Menjadi kejam, bahkan tak pandang kawan Para gepeng dibiarkan tak berakal Meski undang-undang melarang mereka merasuki ruas jalan Peraturan dibuat serta-merta menghapus jejak langkah. Dan melacurkan diri di gedung istana Demi pangkat dan jabatan yang tertera. Kemana para kesatria? Pembela hak para jelata. Ada yang dibungkam, ada pula yang diasingkan. Ah, kejamnya negri yang teraniaya oleh warganya sendiri. Kapankah kembali merdeka, wahai Ibu Pertiwi? Yogyakarta, 31 Oktober 2016

Rindu Dalam Sunyi

Ini sebuah keluh. Yang membahas tentang kesunyian jiwa. Merambat bersama aliran darah, menjadi sebuah rasa rindu. Ya, rindu akan purnama yang tengah membayang. Masa itu, saat sepasang mata berkeliar memandang pesona keramaian. Rindu pada celoteh yang memuja kehidupan. Pecahkan hening di setiap kerangka kota. Alunan musik hanya berdendang, sementara hadirnya celetuk saat irama bosan bernyanyi. Sama ketika di dalam sunyi, alunan simponi dari laptop menggusur sepi. Tapi tetap saja sunyi. Ah, sepertinya pikiran tengah pincang. Terpasung oleh suasana malam. Tanpa kopi, tanpa sebatang tembakau yang merasuk. Entah apa yang ingin dimuntahkan. Apakah itu mata air? Ataukah kesendirian yang menghampa di dalam ruang. Tetap saja rindu memisuh. Memberontak. Tanpa tau apa yang tengah dirindukan. Mungkin saja celetuk malam, atau sekelumit keramaian yang sering kali bermuara di sudut cafe. Di kesunyian ini, rindu membuncah. Menggerogoti alam yang tengah padam. Demangan, 26 Okt

Permata Dan Kisahnya

Semalam Permata berkisah tentang setapak jalannya yang terkurung oleh jemu Seakan ia terperangkap dalam sandiwara tak berujung. Kejenuhan melingkari menjadikan kebahagiaan ditelanjangi dan dilucuti Derap waktu terus mengejar. Kisah dan kesah terlontar dalam kata-kata yang berkeluh. Malam itu, perkelahian batin merambah percakapan. Permata terus mencari kebenaran dari kebimbangan yang tengah berpesta di dalam jiwa yang tak terbuka. Yogyakarta, 23 Oktober 2016

Cerita Dari Sebuah Gedung

Di sebuah gedung Dalam ruangan yang cukup sesak Ada gula yang terpaku dengan layar monitor Memainkan jemarinya pada mouse yang mungil Dan dendangan lagu Sheila On 7 yang menggema. Walau dalam keramaian yang nyata Ia mensunyikan diri. Dengan sebuah laptop yang menghadapinya. Sesekali pula tangannya merayu dan menari di atas keyboard. Mata bolanya terus dihiasi sinar monitor. Lesung pipinya sesekali terlintas Dari bibirnya yang menarik senyum. Entah lelah. Ia tegakkan tubuhnya. :semoga dirimu terselimuti sehat. Di ruang yang berirama, aku bercerita dalam sudut. Dengan celotehan masyarakatnya dan juga beberapa yang asyik dengan gadgetnya. Senja mulai datang menyelimuti langit. Hima IS UNY, 21 Oktober 2016

Indah

membaur dengan waktu dan alam menyatu dengan khayalan tapi jangan membabu pada uang indah maka lagu yang tersimpan akan terbingkai indah takan jadi hal yang terbengkalai indah, indah rasukilah setiap jiwa-jiwa yang rapuh oleh cinta. Demangan, 21 Oktober 2016

Lagu Pada Bulan Oktober

Oktober Aku masih jatuh dalam lubang kerapuhan Teraniaya oleh waktu yang mengikat Dengan temali detik yang menggagahi setiap jejak Terkapar dalam kesunyian Bersama deraian yang mengarat Tersusun di dalam setiap kisah pilu Entah karena kesendirianku Atau karena setiap rasaku tersungkur oleh lainnya Kata perlahan mulai bisu Tak terungkap dan menjamur di dalam setiap sudut, rindu yang melilit dan menari di lubang-lubang asmara Jiwa yang menimbun rasa, mengerang inginkan lagu-lagu mu tentang perasaan yang tertuang di sebuah kalimat. Membuah menjadi sajak-sajak liar. Tak sengaja kulayarkan rindu ini kepadamu Yang sampai saat ini belum melabuh. Payung tak mampu meneduhkan hujan rindu dari awan mendung kasih. Biarlah oase ini merimbai pikiran menjadi sebuah kenangan yang layu. Kemudian terganti dengan lamunan yang terkisah. Tertulis dan terangkai di setiap puisiku. Oktober, cepatlah berlalu ceritamu sudah menggenang di halaman hati. Yogyakarta, 21 Oktober 2016

Si Tudung Merah Dan Sebuah Aku

Di depan mata ada rembulan yang berpijar dari senyum yang tersimpul. Suara camar mengagumi seisi gedung, tentang tugas dan segala macam kehidupannya. Menyudut dengan sebuah buku kusam. Tampak syahdu engkau membacanya. Dengan tudung merah yang membingkai wajah, dan raut bahagia yang nampak tilas. Genggam terus Aku, dengan tangan manis. Bacalah Aku, dengan bola mata indah itu. Karena setiap rupa yang tertanam dalam sebuah kisah tertuliskan dalam sebuah Aku. Yang menjudul. Dan terabadi. Nikmatilah, dan terus ziarahi setiap lekuk kalimat itu. Dalam sebuah karya. Aku. Yogyakarta, 20 Oktober 2016

Malam Ini

malam ini tampak tenang Seperti awan yg berjalan ringan Terukir dalan kesunyian Namamu, Ya, namamu yg ada Diantara bintang yg mengangkasa Di balik sebuah cahaya rembulan Malam ini, Namamu masih tergambar Di antara desir darah yg mengalir Yg merujuk menuju jantung Kau ada, di setiap denyutannya Malam ini, Namamu terngiang Dirimu terindukan Oleh jiwaku yg tengah menabur rasa Lewat kata-kata Malam ini pula Dirimu terucap Diantara alif-alif syahdu Yg menginginkanmu Aku merindukanmu Malam ini Madura, 17 oktober 2015

Intan 3

:Kehadirannya Pada Alam Isi dalam ruang yang tengah hampa Namun, ramainya derapan rasa tak bisa mengaksara Tanpa sepatah kata pula terlontar Ada apa? Bagaimana mulut ini mencucur Nisan saja tak berkutik dihadapan para pelayat Apakah rasaku tengah jemu? Ragu, mengutarakan kisah hati Antara raganya yang indah Terbalut gaun penuh pesona. Nampak pula, senyum yang mengusung kedua bibirnya. Ah, terlalu manis untuk dimiliki. Daun saja enggan jatuh, ketika ia melangkah mendekat. Irama-irama angin menarikan selembar hijabnya. Lautan menyambut dengan deburan ombak. Langit tampak diam dengan sekelumit awan. Adanya membuat alam sunyi, diam mengindahi kehadirannya. Yogyakarta, 17 Oktober 2016

Hujan Lagi

Hujan kembali datang Seolah ia melarang bulan untuk memandang bumi Pekat malam disetubuhi oleh rintikan syahdu yang tak diundang Seperti para petinggi yang seenaknya mengunyah kata kekuasaan Mentang-mentang punya jabatan Mereka lupa diatas langit masih tersimpan langit Ya mereka seperti hujan malam ini Yang melarang rembulan menduduki wajahnya tuk tampakkan diri Demangan, 28 September 2016

Bising

Terlihat suatu malam pekat Lentera yang menerangi menjadi kilatan Kesana kemari Oh bisingnya dunia ini Berita yang merasuk dalam otak Sulit untuk terangkai Hingga akhirnya tikungan yang didapat Sungguh bising Teramat hingga sunyi tak berkesempatan Demangan, 29 September 2016

Lagu Pada Air

Terlalu banyak puisi tentang hujan, sedangkan tetesannya tak kunjung reda. Mengairi wajah-wajah kusam di balik penatnya desiran raga Kilau aspal dan cahaya tergusur oleh dentuman mata air langit dan, mata air wajah membatik menggusur tawa Tinggalah gemericik yang bernyanyi menyusuri senja kala Yogyakarta, 8 Oktober 2016

Dari Sudut Kesunyian

Melihatmu khusyuk dari sudut sunyiku bersama dendang lagu Dewa yang mengalir Rintik hujan membasuh sedu syahdu merintik melewati dedaunan yang sepi Jemari lentik melingkari sebatang pulpen biru membuat lekukan di sebuah kertas beralaskan papan Garis, garis dan garis begitulah kulihat kau dari sudut mataku Senyum mungil terkadang muncul terlempar dari bibir indah dan kembali lagi merujuk pada papan yang digarap. hujan masih menghiasi soreku. Bersama senyumanmu yang masih mengalir dalam rongga ingatanku. Dekanat FIS UNY, 7 Oktober 2016

Dari Sudut Kesunyian

Melihatmu khusyuk dari sudut sunyiku bersama dendang lagu Dewa yang mengalir Rintik hujan membasuh sedu syahdu merintik melewati dedaunan yang sepi Jemari lentik melingkari sebatang pulpen biru membuat lekukan di sebuah kertas beralaskan papan Garis, garis dan garis begitulah kulihat kau dari sudut mataku Senyum mungil terkadang muncul terlempar dari bibir indah dan kembali lagi merujuk pada papan yang digarap. hujan masih menghiasi soreku. Bersama senyumanmu yang masih mengalir dalam rongga ingatanku. Dekanat FIS UNY, 7 Oktober 2016

Samudera Doa

Biarkan waktu mempermainkan detiknya, juga rembulan yang menggagahi malam dan siang yang merasuki bumi. Hingga akhirnya hati tersadar betapa rumitnya mencintaimu. Walau waktu nyata ada Tapi arahku tak pernah sampai padamu Semu, semu dan semu Seakan aku hilang Sampai akhirnya masaku ada untukmu Dalam diam Dalam genggaman lirik doa Di situlah kidungku merekah dengan kasih sayang tulus yang membuana Menyingsingkan fajar dari ufuk timur Segenggam doa merangkak menuju singgasana Terbang ke angkasa Hingga akhirnya turun di 'arsy-Nya. Kasih, jadilah mawar yang harum. Yang menyerbakkan isi ruang hati Hingga malamku denganmu tiba. Dekanat, 5 Oktober 2016

Murkakah?

Di antara perih yang menghulu Tinggalah kesah Dari sesumbar angkara Bercerita tentang ketimpangan Rasa asih dan kasih seakan musnah Terlahap oleh jiwa-jiwa yang mati. Menghina tanpa dosa Bertuhan tak bermakna Lembaran yang katanya berharga mereka sembah Seakan tiada lagi yang berharga selain itu Nominal pun tak luput dari sesembahannya Oh Tuhan, murka kah Engkau? Ketika abdi-Mu tiada lagi "menuhankan" Mu Ketika itulah keluarga rupiah, dolar dan yang lain mulai berani menyingkirkan-Mu Dekanat FIS UNY, 5 Oktober 2016

Murkakah?

Di antara perih yang menghulu Tinggalah kesah Dari sesumbar angkara Bercerita tentang ketimpangan Rasa asih dan kasih seakan musnah Terlahap oleh jiwa-jiwa yang mati. Menghina tanpa dosa Bertuhan tak bermakna Lembaran yang katanya berharga mereka sembah Seakan tiada lagi yang berharga selain itu Nominal pun tak luput dari sesembahannya Oh Tuhan, murka kah Engkau? Ketika abdi-Mu tiada lagi "menuhankan" Mu Ketika itulah keluarga rupiah, dolar dan yang lain mulai berani menyingkirkan-Mu Dekanat FIS UNY, 5 Oktober 2016

Hujan

Malam ini Bulan menggagahi bumi Dan bintang menjadi saksinya Dalam bisu Terangkai kata yang membelenggu Menjadikan awan Mengendap di sekujur langit Ketika memendung Datanglah hujan Yang menyemai rindu Menghajar dari sisi kelabu Kost Kemal, 4 Oktober 2016

Cerita Arkend

Terangkai kisah dari sudut-sudut malam. Juga dari balik kopi dan coklat yang terpesan. Pada dinding, bercerita kisah dari bingkai dan potret berwarna. Dan aksara yang membasuh sepi dinding. Tak luput pula, rupa seni yang terbingkai dari kayu. Dendang lagu menemani alunan jemari Di balik ribuan beban, bukan alasan untuk tak berkisah dengan purnama dan pena. Dengan bejubel dilema di balik peristiwa tidak menyurutkan sukma untuk berkarya Melawan. Peduli. Memberi. Demi sebuah kisah sosialita sang jelata Demi kemakmuran yang belum melanda Demi itu pula, kisah masaku merajah sang penguasa. Arkend, 3 Oktober 2016

Cerita Dari Meja Bundar, Dua Cangkir Gelas dan Dua Bunga

:malam itu Dua gelas berbeda terhidang di sebuah meja Terlihat cantik, segar dan indah dengan buih coklat di dalam Di meja bundar, dua bunga menarikan jemarinya di atas keyboard yang setia menemani malamnya. #Bunga 1 Dengan mata yang berlapis terlihat fokus memandang layar yang merasuk ke dalam lapisan bola matanya. Sesekali mengulum senyum, kemudian kembali dalam lautan tugasnya. Walau mata kecilnya mulai merasa layu. Sesekali pula ia bercakap dengan kawannya Entah lelah yang dipaksa atau suntuk yang mengalun di dalam dirinya Tetap saja jari-jari lentiknya lihai menari di atas malam yang mengejar waktu esok. #Bunga 2 Diambilnya secangkir coklat dari si meja bundar kemudian kembali lelap di depan monitor Dengan enjoy, ia selipkan sepasang headset di daun telinga yang bersembunyi di balik kerudung pink itu. Seperti tiada beban dalam kidungnya Raut wajahnya cukup ceria, meski esok mengejar harinya. Dua bunga masih mengalunkan jemarinya di atas keybo

Wafiyah

Aku merindumu Dalam setiap doa yg mengerang Membasuh setiap nadir hayalku Wafiyahku tercantum dalam sukma Yang merajut dalam aliran hidupku Rindu yang meronta Ku rantai dalam jiwa yang dalam Agar laraku tak terumbar Wafiyah, Aku merindu Yogyakarta, 12 Juni 2016

Rindu dan Waktu

Selamat malam Kau yang masih duduk sendiri menatap rindu Di kejauhan matamu Terlihat ada bayang yang menyelimuti jiwamu Seperti langit biru yang diselimuti awan-awan padang Wajahmu masih sendu dari sebuah kenangan Seperti seorang anak kecil yang baru saja melihat bayang pelangi di langit yang telah hilang Termakan oleh waktu Aku masih duduk disini Melihatmu dari kejauhan Di setiap malam-malam yg merindu Bersama purnama yg rela menemani Di setiap ujung sajadah Juga gemintang yg setia sampaikan Cahaya doa Di setiap sepertiga malam. (Prenduan, 25 Maret 2016)

Salam Rindu

Mencintaimu itu bukan hanya sekedar Mencintaimu adalah perjuanganku Karena kamulah cintaku Yang kucintai tanpa alasan Yang datang tulus dari hati Tanpa paksaan Ia datang karena kamu Tanpa alasan Salam rindu kutitipkan untukmu Di sana yg jauh dari pandangku Aku mencintaimu Dengan sederhana

Sedotan

Kamu terlihat adil Ketika mata memandangmu lewat sedotan. Kost Demangan, 27 September 2016

Harum

Terlihat mata yg sendu Mengeliari pikiran yg bercabang Ada dia, ada seorang yg tengah hinggap Seperti celoteh ayam di subuh kala Yang tak mau pudar di setiap genggam fajar Di lubuk rindu Semayam tabur kesunyian Sepi dalam sendiri Tak berkata Bak hutan tanpa penghuni Tak berisi sececer makhluk Hanya dedaunan yg bergoyang Terhembus angin melintang Namamu selalu harum Bersama malam yang arungi masa Juga bayang tak tentu Sajak Al-Bakasy, 19 Agustus 2016

Masihkah?

Ketika lentera mengubah hening Setetes air menjelma doa Di atas sajadah yang terhampar Matahari masih berkelit Tertutup awan Seolah dilarang untuk bersinar Bumi pertiwi masih kelabu Dibalut mendung Dan gemerisik angin topan Indonesia Masihkah kau merdeka? Yogyakarta, 17 Agustus 2016

Sajak Lentera

Ini sabda sajakku Yang telah merangkai lautan kisah Dari rajutan keluh kesah             Dari meriam tinta ini             Aku lukiskan strata keadilan             Yang simpang siur tak berjera Oh Indonesia Raya Sajakku ingin melentera Berjibaku dengan kelam samudra             Diantara buih-buih raga yang tersesat             Antara sengsara dan derita kemakmuran Celurit tintaku selalu meresah Ketika si kecil berdendang Diantara kawanan mobil yang menanti lampu merah             Andai saja kemakmuran itu ada Juga keadilan itu nyata Si kecilmungkintaklagimeronta Di atas jalanan yang berdebu na n kelabu. Yogyakarta, 14 Agustus 2016

Negri Dongeng

Anak kecil menangis di tepi jalan Memungut recehan dengan raut memelas Di bawah terik dan lampu merah             Plat merah terlihat mewah             Enggan mengulurkan segelintir rupiah Negara makmur, katanya Tetapi berlaku bagi yang duduk di kursi saja Yang terkadang pulas ketika paripurna             Kudengar Negara ini adil             Adil kepada yang ada             Tidak bagi sang jelata Negriku memang negri dongeng 1001 cerita bagi rakyatnya Yogyakarta, 14 Agustus 2016

Proklamasi

Apa definisi dari proklamasi? Ketika penjajah memangsa darah Saat itu perjuangan membuncah             Ketika Bung Karno berpidato             Pada saat itu proklamasi terbakar Tapi, itu tinggal sejarah                                                                                                                                                                  Kini penjajah kembali             Bukan dengan senjata api             Atau pun meriam yang siap menendang Kemana para pemuda? Yang seharusnya melindungi proklamasi. Yogyakarta, 14 Agustus 2016

Andai Saja

Andai saja angin tampak Ijinkan aku berhembus dengannya Agar kesejukan terus mengalir Hiasi pori dan mahkota Andai tiada murka Biarkan damai mengalun Dalam sepoi masalah dunia Tanpa ada merah yang timbul Andai saja Oh... andai saja Biarlah jejaka tertawakan Ragaku yang konyol tak bertuan. Yogyakarta, 21 September 2016

Percakapan Fajar

Karya: Alim Ahadi dan Sahal Al-Bakasy /1/ Pagi yang menghaturkan salam persahabatan /2/ Pagi yang menerjemahkan arti cerah berkawan /1/ Kicau awan-awan menyapa embun naik, naik, dan naik Embun yang mengharapkan langit menerima /2/ Semilir angin bernyanyi Menarikan dedaunan yang gemulai Mengaharapkan kedamaian pada alam Yang selalu terik diterjang mentari /1/ hahaha. Sudahi risau musim gugur Karena pancaroba menyambut hadir bunga-bunga bakung di musim hujan /2/ Tapi masih saja bunga melamun di tangkainya Seakan enggan untuk memijak bumi Musim pancaroba tinggalkan ketidakpastian Seakan pepohonan ragu tuk semikan dedaunan /1/ Berarti sunyi masih meramaikan rumah mimpimu? /2/ Ya seperti itulah, Ia masih menggenang di halaman hatiku seperti air yang ramai meggericik di genangannya Dari genting yang enggan tersentuh basah /1/ Lantas apakah kau tak punya satu pun spektrum cahaya dalam imajimu dan merangkai langit memecah pucat pasi ladang sesawah /2/ Entahlah

Selamat Pagi

Apa sih yang diinginkan dari perasaan itu? Memiliki? Apakah aku harus memilikinya? Sulit sekali memang menjaga rasa yang sudah masuk dalam rongga-rongga jiwa. Melontarkannya pun terkadang tersekat diujung kerongkongan. Apalagi jika bertemu dengan dia, sulit rasanya memindah arah mata. Indahmu selalu kupandangi dari sudut cahaya yang masuk ke dalam bola mataku. Di dalam kelas pula kadang fokusku beralih padamu. Hingga terkadang aku lupa akan tugas dari bapak/ibu dosen yang mengisi jam kuliah saat itu. Ah, manisnya dirimu saat kupandang. Senyum yang merona selalu menghiasi paras ayumu. Tapi, ah sudahlah. Aku hanya penikmatmu dari sisi gelapku. Tak mungkin kuungkap dalam rangkaian puisi atau pun lainnya. Biarkan perasaan ini menggebu dan ku kerangkeng hingga akhirnya kau yang membukakannya. Selamat pagi asmaraku. Di langit Yogyakarta yang sendu. Ada kamu yang mulai menghiasi setiap sudut hatiku.

Rahasia Rasa

Adalah sebuah api Kupandang dalam sudut gelap Hingga hangat meresap jiwa Indah tanpa resah Rapuh yang tiada pula Yang terlelap pada rasa Urung terbuai dalam mimpi Lintasi kegundahan Ingatan di ruang rindu Antara harapan dan kepastian Narasi dalam rasa Akan menggiring dalam rahasia Sajak Al-Bakasy (Yogyakarta, 9 September 2016)

Jomblo Itu Prinsip

Akhir-akhir ini, banyak sekali pemuda dan pemudi yang berharap memiliki pasangan atau biasa disebut juga pacar. Entah mengapa, pacaran itu sendiri kini menjadi hal yang lumrah dalam sebuah kehidupan remaja saat ini. Akan tetapi, bagaimanakah sikap mereka ketika pacaran? Ada saja yang secara terang-terangan memperlihatkan kemesraan mereka, ada pula yang diam-diam tapi ternyata menghanyutkan. Di sisi lain, bagaimanakah para jomblo itu? Jomblo itu bukan nasib, akan tetapi jomblo itu pilihan. Lumrah saja jika seorang wanita mencintai lelaki atau sebaliknya. Tapi bagaimana cara menyikapi perasaan tersebut yang terkadang mengganggu pikiran dan membuat kita terkadang gagal fokus? Bahkan kebanyakan remaja saat ini mengungkapkan perasaan mereka kepada sang lawannya. Jika memang sudah diungkapkan, apakah kita yakin bahwa orang menerima ungkapan perasaan kita itu akan menjadi teman hidup kita? Jodoh itu tak ada yang menduga. Ada yang sudah dipersiapkan sebagai jodoh tapi tidak jodoh dan orang ya