Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Puasa Puisi

Setelah kehilangan kata, yang membuat puasa pada puisi. Kini kembali berbuka dengan: Puasa Puisi Dengan puisi Aku lupa padamu Dengan puisi Aku melayang pada semu Dengan puisi Aku tak punya malu Pada siapa lagi aku bertitah? Selain puisi-puisi yang berkisah. Pada siapa lagi aku berkesah? Selain puisi-puisi yang berserah. Kecanduanku pada sebongkah kata, tak bisa kupuasakan seenaknya. Kecanduanku pada kalimat mesra, tak ubahnya aku tengah bercinta. Sudah habis puasaku pada puisi Seperti hujan yang lama tak metes ke bumi Sudah lama puisiku sunyi Diam, hampa seolah tengah tak peduli. Sudahlah, akhiri puasa puisi ini. Banyak yang memendung pada kata-kata. Banyak pula yang ingin menelaah kalimat rima. Puasanya sudah tak buta. Puisinya sudah tak berpuasa. Maka puasaku pada puisi kupisuhi saja. Yogyakarta, 27 Februari 2017

Tanahku, Tanahnya Bukanlah Tanah Mereka

Tanahku menggerutu Ketika ribuan peluru menghentak ke udara Mengusir para petani Memaksa dengan seribu alasan. Tanahnya dirampas Dengan kata pembebasan. Lahan menjadi beton yang tertanam dalam. Tiang-tiang dipasung demi sebuah pembangunan. Tanahnya diusir Dengan semen-semen yang melekat erat. Juga aspal yang menjadi landasan kerusuhan. Tanahnya hilang. Ditelan lumbung keserakahan. Februari 2017

Judulnya Malam

Di sudut malam, banyak cerita dari derai kehidupan. Mengadu pada Tuhan. Dan bersesenggukan. Ada juga yang meminta jalan Pula menemukan waktu dengan masa depan. Banyak pula yang bercekikikan. Dengan asap tebal dari tembakau pilihan. Dan curhatan antar insan. Di setiap malam. Doa-doa menguntai tajam. Menghujami penjuru langit dengan kesungguhan. Tiadakah manusia yang mendengar, selain Tuhannya. Selagi sajadah masih membentang. Jangan jadikan ia sebagai tikar tempat tidur. Karena banyak air mata yang emnjadi saksi, atas kuasa dari sajadah malam. Yogyakarta, 13 Februari 2017

Hak Asasi Kini

Hak asasi kini buta. Dan kebutaan itu yang menjadi candaan malam. Kalau sudah keadaannya malang. Barulah terbuka dari kebutaan. Komojoyo, 10 Februari 2017

Setitik Cahaya Dari Sebuah Mendung

:teruntuk Permata Apakah cahayaku masih redup, Permata? Telah kucincang habis maluku untuk sebuah kata rindu. Mulanya ia hanya berselancar. Namu, tak lama ia mendekap dalam lamunan karangku. Taukah kau Permata? Mendungku mulai menebar di atas awan. Dengan hiasan senja yang pernah kubingkai untukmu. Dan kupasrahkan adanya padamu. Lagu-lagu cinta memang terlihat usang. Selalu saja tentang rasa yang tak berujung. Terkadang di penghujungnya hanya sebuah jurang. Lantas apakah aku akan terjun? Mungkin rasa ini berkata; ya. Tapi tidak dengan jiwaku. Ia lebih memilih menelusuri jurang itu, dengan hati-hati, dengan semua perasangka pelangi. Senja masih ada di genggaman, Permata. Ia ditemani lampu-lampu jalanan yang syahdu. Juga keramaian lalu-lalang binatang berakal. Kini aku berselimut mendungmu. Dengan lagu-lagu sendu dari "Kafe Jakarta, Senja Kala". Biarkan cahaya menyelinap sepi Meski hanya setitik peniti, dari balik mendung. Biarlah waktu yang merajut cer

Pikiran Dalam Jeruji

Aku belum bisa membasuhmu Dari malam-malam yang penuh cerita Dengan segenggam kata cinta Yang membatik dari dalam hati. Terlena kadang membodohkan jiwa. Membiarkan ia hinggap dalam sketsa semu duniawi Tanpa ada lentera yang mengawani jalanan. Banyak orang yang mengamini kebetulan. Namun, yakinkah dikau ada suatu kebetulan? Lantas, kebetulan adalah suatu peristiwa yang tak disangka Bagaimana dengan kesalahan? Mungkin jiwa-jiwa terlalu larut pada kejadian. Bahkan kata kebetulan hanyalah bagian dari skenario yang tertuliskan rapih Di atas lembaran-lembaran Tuhan. Mungkin kata cinta terlalu sempit, terkadang. Pula terlalu luas orang memandang. Maka, kebodohan mana lagi yang tak tampak? Bukankah manusia terlahir dalam keadaan bodoh? Biarkan pikiran ini terjeruji dalam lingkup cinta. Hingga senja kala tak mau sambut petang kita Juga rona mega yang tak ingin melihat pagi kita. Dan matahari bersembunyi di balik kawanan awan Yang gulita dan senyap. Yogyakarta, 8 Februari

Malam

Setiap sudutnya mengurai tawa Kadang juga air mata. Berkisah juga terkadang pada malam Selain itu berkesah di penghujung malam. Seketika gemintang membaur diantara awan dan bulan. Bergembira menyambut malam Yang cerah Yang berawan, jarang. Seperti perasaan yang kiang meraja. Seperti lamunan rembulan yang setengah padam. Ia temaram di balik angkuhnya kejujuran. Tuhan. Perasaan bukankah malam? Yang selalu bersembunyi di banyak kegelapan. Masih saja raga diam. Di balik rimbanya pikiran dan lebatnya kehidupan. Yogyakarta, 7 Februari 2017

Sekotak Senja Untuk Bangka Barat

Di jalanan, Kutuangkan kalimat kesederhanaan. Dengan bingkai pilu di ujung cakrawala. Sekotak asa bersinggah Dari taman ke taman Dari jalan ke jalan Untuk menebus kebahagiaan. Datang kepada kerumunan senja. Sejak terik menyetubuhi kulit. Hingga mendung merenung di langit. Dari air mata yang mengalir. Mengetuk sudut-sudut hati untuk berempati. Kepada mereka, yang mengharap kebahagiaan. Air yang mengalir. Menjadi guncangan kesedihan. Membuat tabu kehidupannya. Tapi Tuhan tidak diam. Bah itu hanya kasih sayang Bagi siapa yang terbuka hatinya. Juga rasanya. Yogyakarta, 4 Februari 2017

Tentang Cinta

Terlalu banyak puisi tentang cinta. Sehingga aku hanya bisa bersandar dan memandangnya dengan diam. Dengan sedikit tenang. Jiwaku berkelana di setiap cakrawala. Dan setiap malam, kukunjungi keresahan di antara bintang. Biarkan waktu mendiamkan, aku. Dengan kesendirian dan keheningan. Karena kebersamaan adalah sebuah pengembaraan. Puisi-puisi cinta terkadang membuatku bosan. Akan tetapi, kata tak mungkin terucap dan tertuang tanpa ada cinta. Karena cinta bukan hanya tentang perasaan. Tapi juga tentang keadaan. Cinta, rasa dengan beribu makna. Berjuta arti. Dan bermiliar tafsir. Semua bergantung pada keadaan yang berada. Juga rasa yang terbuka. Yogyakarta, 3 Februari 2017

Sajak Sesudah Berjuang

Dan lalu Angin menyambut rindu Kepada matahari Dan lalu Hujan memberi cinta Pada sang pejuang Dan lalu Cerah akan datang Dengan cahaya yang benderang Seperti kenangan ini Yang berjuang Demi keadilan. YK, 2 Februari 2017